Selasa, 17 Februari 2009

Mewaspadai Kunjungan Menlu AS di Indonesia

Sebagaimana telah banyak diberitakan, dalam rangkaian kunjungan pertamanya sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton akan berkunjung ke Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan China. Kunjungan ke Indonesia akan dilakukan pada tanggal 18-19 Febuari 2009 ini. Menurut Juru Bicara Deplu AS Robert Wood di Washington, “Indonesia adalah negara yang penting bagi AS sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Menlu merasa penting untuk merangkul Indonesia lebih awal.” (Kompas.com, 7/2/09).
Tentang agenda kunjungan ke Indonesia, Dubes AS untuk Indonesia Cameron Hume mengungkapkan, Menlu Hillary bersama para pejabat negara tuan rumah akan membicarakan pendekatan-pendekatan bersama dalam menghadapi tantangan yang melanda masyarakat internasional. Selain terkait dengan krisis pasar keuangan dan isu-isu kemanusiaan, Hume mengungkapkan, “Beliau (Hilarry, red.) akan bertukar pandangan mengenai hubungan AS-Indonesia yang terus berkembang, termasuk kerjasama di berbagai bidang seperti pendidikan, keamanan regional, lingkungan hidup, perdagangan dan kesehatan.”
Rencana kunjungan itu mendapat sambutan besar dari kalangan pejabat di Indonesia. Pasalnya, kunjungan Menlu AS yang baru biasanya dilakukan ke Eropa atau Timur Tengah, dan baru sekarang ke wilayah Asia, khususnya Indonesia. Rencana kunjungan itu membuat Pemerintah Indonesia merasa senang dan bangga. “Kita melihat Indonesia sudah masuk dalam radar negara besar sebagai emerging country (negara yang sangat penting. red.) yang patut diperhitungkan dalam kontribusinya di dunia ini,” ujar Mensesneg Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis kemarin (MIOL, 5/2/09).

Makna di Balik Kunjungan
Jika dicermati lebih jauh, kunjungan Menlu AS ke Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mengandung sejumlah tujuan. Sayangnya, tujuan tersebut seluruhnya semata-mata demi memenuhi ambisi politik dan ekonomi AS. Di antara tujuan di balik kunjungan Menlu AS itu adalah:
Pertama, memulihkan citra AS secara internasional, khususnya di Dunia Islam, yang terlanjur semakin terpuruk selama kepemimpinan Bush. Terpuruknya citra AS tentu saja terutama karena pendudukan sekaligus tindakan brutal AS di Irak dan Afganistan; juga dukungan AS yang membabi-buta dan terus-menerus terhadap Israel, khususnya dalam kasus Pembantaian Gaza oleh Israel baru-baru ini. Citra itulah yang hendak “diperbaiki” oleh AS. Karena itulah, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar diharapkan bisa menjembatani hubungan Dunia Islam dengan Barat, khususnya AS, supaya citra AS di mata Dunia Islam bisa diperbaiki. Ini tentu sejalan dengan strategi baru Obama dalam politik luar negerinya, yakni penggunaan “smart power” (kekuatan pintar). Inilah juga yang bisa kita simak dari pernyataan Hillary, dalam dengar pendapat di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), bahwa dirinya akan bekerja “memperbarui kepemimpinan Amerika melalui diplomasi yang akan meningkatkan keamanan kita, mengedepankan kepentingan kita, dan mencerminkan nilai-nilai kita.”
Jadi, tujuan utama dari berbagai kunjungan Menlu AS tersebut tidak lain adalah untuk memperbarui kepemimpinan—termasuk citra—AS di dunia.
Kedua, dalam konteks masalah Palestina, AS berharap bahwa Indonesia bisa memainkan peran di dalamnya, terutama karena Indonesia memiliki hubungan yang semakin dekat dengan Hamas dan rakyat Palestina secara umum. Bahkan menurut Wapres Jusuf Kalla, Wapres AS Joe Biden secara khusus telah meminta proposal ke Indonesia tentang penyelesaian konflik Palestina (MIOL, 8/2/09).
Persoalannya, Presiden Barack Obama telah menandaskan bahwa kesepakatan dengan rakyat Palestina harus tetap menjaga identitas Israel sebagai negara Yahudi yang memiliki perbatasan aman dan diakui. Israel harus dibela dan al-Quds harus menjadi ibukota Israel dan sebagai kota bersatu. Ia menyebut pertemanan AS dengan Israel tidak mungkin dipisahkan (Inilah.com, 6/2/09).
Artinya, penyelesaian masalah Palestina harus sesuai dengan garis yang telah ditandaskan oleh Obama/AS. Karena itu, Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak dengan skenario itu. Jika Indonesia mengikuti keinginan AS itu, berarti Indonesia telah menjadi perantara bagi terwujudnya pengakuan legal terhadap keberadaan Yahudi-Israel sang penjajah, yang telah mencaplok tanah Palestina.
Ketiga, dalam konteks keamanan regional, AS ingin memastikan kerjasama yang lebih erat dengan Indonesia, khususnya terkait dengan isu terorisme dan keamanan di Selat Malaka. Dalam hal ini, Deputi Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Robert Wood mengatakan, ”Amerika mungkin membuka kembali program Korps Perdamian AS di Indonesia setelah dihentikan sebelumnya pada pertengahan 1960-an.” (Antara, 9/2/09).
Dengan kata lain, lewat kunjungan ini, AS ingin memastikan bahwa Indonesia akan tetap melanjutkan program perang melawan terorisme, meski dengan cara yang sedikit berubah sesuai dengan gaya AS yang berubah di bawah Obama. Adapun terkait dengan Selat Malaka, sebagaimana diketahui, selama ini terus diopinikan bahwa Selat Malaka menjadi salah satu jalur pelayaran yang rawan perompakan. Padahal Selat Malaka langsung berkaitan erat dengan keamanan regional, bahkan dunia, selain berkaitan erat dengan keamanan pasokan minyak dan bahan baku lainnya. Karena itu, kunjungan ini akan digunakan Hillary untuk membuka pintu lebih lebar bagi kerjasama AS-RI yang lebih dalam untuk mengontrol keamanan Selat Malaka ini.
Keempat: AS mulai menyadari pesatnya perkembangan Islam dan kesadaran umat Islam di Indonesia untuk kembali pada syariah agama mereka, sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai hasil survey. Hal ini dipandang bisa menjadi ancaman potensial bagi penjajahan AS di kawasan ini. Di mata AS, meningkatnya kesadaran umat Islam itu akan mengancam nilai-nilai mereka seperti Demokrasi, HAM, Pluralisme, Kebebasan dan Kesetaraan Gender, yang pada akhirnya akan menggulung tradisi penjajahan mereka di negeri ini.
Karena itu, AS ingin Indonesia memelopori dan mendorong Dunia Islam menjadi menganut Islam moderat dan menjunjung demokrasi. Untuk itu, Indonesia harus lebih dulu menunjukkan diri menjadi negara moderat dan demokratis. Negara moderat dan demokratis tentu saja maksudnya adalah negara yang bersahabat dengan AS dan tidak anti AS serta mempertahankan sistem dan nilai-nilai sekular. Dubes AS untuk Indonesia Cameron Hume mengisyaratkan hal ini. Ia menyatakan, Menlu Hillary menantikan untuk melihat langsung bagaimana Indonesia berubah menjadi negara demokrasi yang stabil, moderat dalam wilayah penting ASEAN. Harapan ini kemudian diamini Menlu RI Hassan Wirajuda. ”Sepanjang RI-AS menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme, ada cukup alasan untuk mengeratkan hubungan bilateral.” (Kompas, 7/2/09).
Kelima: Di depan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), Hillary menyebut Indonesia memiliki peran penting dalam memecahkan masalah krisis ekonomi global (Detiknews.com, 14/01/09). Tentu bukan karena Indonesia dianggap mampu mengatasi krisis global. Pernyataan Hilarry tersebut harus dimaknai bahwa dalam pandangan AS, Indonesia bukan saja telah dan akan menjadi pasar potensial bagi produk AS, tetapi juga menjadi sumber bahan-bahan baku dan suplay energi bagi industri AS. Apalagi banyak perusahaan AS yang telah lama beroperasi di Indonesia sekaligus menguasai akses terhadap sumber-sumber kekayaan tersebut. PT Freeport dan ExxonMobil adalah di antaranya. Inilah kepentingan AS yang ingin terus dipertahankan di Indonesia.
Keenam: Kunjungan ini dilakukan menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Dalam agenda kunjungannya, Menlu AS itu juga direncanakan akan bertemu dengan sejumlah tokoh dan politisi di negeri ini, termasuk para calon capres dan cawapres. Kunjungan ini secara kasatmata bisa dibaca sebagai upaya AS untuk memastikan dukungannya kepada—sekaligus terpilihnya—tokoh dan politisi yang bisa menjamin kepentingannya di negeri ini. Apalagi dalam rentang sejarah kepemimpinan di negeri ini sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi, secara langsung ataupun tidak, AS turut ‘menentukan’ naik-turunnya para pemimpin di negeri ini.

Catatan Kritis
Memperhatikan penjelasan di atas, jelas bahwa kunjungan Hillary pada 18-19 Februari ini akan lebih menguntungkan AS. Apalagi menurut Menlu Hassan Wirajuda, Pemerintah Indonesia sendiri sampai awal Februari belum menentukan agenda khusus yang akan dibicarakan dengan Menlu AS Hillary. Hal itu menunjukkan kekurangsiapan Indonesia dalam melakukan pembicaraan dan negoisasi dengan AS. Inilah ironi dari potret negara yang di klaim negara besar, padahal arah kebijakan politik luar negerinya ternyata tidak jelas.
Lebih dari itu, kunjungan Hillary ke Indonesia pada tanggal 18-19 Februari ini tidak lain adalah untuk lebih menguatkan pengaruh AS di kawasan regional, khususnya di Indonesia.
Karena itu, sudah seharusnya Pemerintah tidak terjebak dengan skenario dan keinginan AS. Pasalnya, AS adalah negara penjajah pengemban utama ideologi Kapitalisme, yang menjadikan penjajahan sebagai metode baku dalam menjalankan politik luar negerinya. Metode penjajahan ini tidak pernah berubah selamanya. Yang berubah hanyalah strategi dan caranya saja; dari sebelumnya “hard power” menjadi “smart power”, sebagaimana diistilahkan Presiden AS Obama. Jika kedua cara tersebut mendapatkan tempat atau diberi kesempatan oleh para penguasa negeri Islam, khususnya Indonesia, maka hal itu jelas bertentangan dengan firman Allah SWT:
Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Lebih dari itu, membantu kepentingan negara-negara kafir harbi seperti AS, apalagi tunduk pada kemauannya, dengan mengorbankan kepentingan dan kamaslahatan kaum Muslim, merupakan bentuk nyata pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslim. Padahal tindakan demikian nyata-nyata telah diharamkan oleh Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya; jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui (QS al-Anfal [8]: 27).

Tidak ada komentar:

.:: Abi, Umik, Akbar, Mas Aziz & Mas Rizki ::.

.:: Abi, Umik, Akbar, Mas Aziz & Mas Rizki ::.