Pada bulan Dzulhijjah ini, umat Islam sedang melangsungkan perhelatan besar: ibadah haji. Subhânallâh! Dari seluruh penjuru dunia kaum Muslim berbondong-bondong datang ke Tanah Suci dengan berbagai latar belakang; ras, suku, bangsa dan bahasa. Namun, perbedaan itu mereka tanggalkan semuanya. Yang ada adalah kesamaan iman dan Islam yang mengikat mereka untuk berada dalam satu tempat bersama-sama, demi mengerjakan semua perintah Allah SWT dengan penuh ketundukan dan ketulusan.
Pengorbanan waktu, tenaga, harta dan pikiran mereka persembahkan hanya kepada Allah SWT. Mereka senantiasa berharap, perniagaan mereka dengan Sang Rabbul ‘Izzati diterima dan dibeli dengan ridha dan surga-Nya.
Di tengah rasa bahagia menyaksikan perhelatan tersebut, ada rasa galau. Apakah ibadah haji hari ini sama kondisinya dengan ibadah pada masa Rasulullah saw.? Apakah umat Islam sekarang bisa menangkap esensi ibadah haji ini? Bagaimana pula pengorbanan umat Islam saat ini—sebagai salah satu pesan dari ibadah kurban—untuk kemuliaan agamanya?
Bercermin pada Haji Wada’
Hari itu, Hari Tarwiyah 10 H. Saat itu Rasulullah saw. pergi ke Mina dan melaksanakan shalat zuhur, ashar, magrib, isya dan subuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang telah disiapkan bagi Beliau.
Setelah matahari tergelincir, Rasulullah saw. meminta agar al-Qashwa’, unta Beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 124.000 atau 144.000 kaum Muslim. Beliau kemudian berdiri di hadapan mereka seraya menyampaikan khutbah haji terakhir Beliau yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada.’ Beliau antara lain bertutur:
Wahai manusia…
Sesungguhnya darah dan harta kalian terpelihara/haram atas diri kalian hingga kalian menjumpai Tuhan kalian, sebagaimana haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kalian pasti akan menjumpai Tuhan kalian dan kalian akan ditanya tentang amal-amal kalian…
Sesungguhnya riba Jahiliah dihapuskan seluruhnya. Kalian hanya menerima pokok harta kalian; kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi…
Semua persoalan yang terjadi pada zaman Jahiliah yang selama itu masih di bawah telapak kakiku, mulai hari ini dihapuskan…
Sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang menjadikan kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya…
Wahai manusia…
Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu. Sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa…(HR al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan sebuah kisah yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam dalam As-Sîrah an-Nabawiyyah).
Dari khutbah Nabi saw. di atas, ada beberapa pelajaran penting bagi umat Islam: Pertama, umat Islam adalah umat yang mulia, yang tegak dan terikat oleh iman. Inilah ikatan ideologi yang paling kokoh dan menjadikan umat Islam istimewa dan berbeda dengan umat lain. Yang membedakan umat Islam dengan umat lainnya adalah ketakwaan mereka sebagai pembuktian atas keimanan mereka kepada Allah SWT.
Kedua, umat ini sejak awal berdirinya di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. telah membuang sistem yang melahirkan derita dalam kehidupan ekonomi mereka: sistem ribawi! Sistem ekonomi ribawi ini penuh dengan kezaliman dan manipulasi. Karena itu, Islam telah mengubur sistem ekonomi ribawi ini sejak awal berdirinya masyarakat Islam di Madinah.
Ketiga, Rasulullah saw. dengan jelas menggambarkan telah tumbangnya sistem Jahiliah yang rendah dan sangat tidak berharga dengan bahasa majaz Beliau (perkara yang ada di bawah telapak kaki). Ini adalah gambaran tentang tegaknya kepemimpinan Islam atas semua yang berbau Jahiliah. Pemimpinanya adalah Rasulullah saw. Sistem dan hukum-hukum yang tegak di dalam masyarakatnya adalah sistem dan hukum Islam.
Keempat, keistiqamahan dalam memegang teguh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah adalah pangkal keselamatan dunia dan akhirat sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam QS Thaha [20]: 123-124:
“Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha [20]: 123-124)
Bagaimana Umat Islam Hari Ini?
Setiap tahun di bulan Dzulhijah lautan manusia berkumpul di Padang Arafah. Mereka datang dari berbagai negeri yang tercerai-berai dengan pemimpin mereka masing-masing. Mereka sudah lama tidak berada dalam satu kepemimpinan yang utuh sebagaimana kaum Muslim dulu saat masih berada dalam kepemimpinan Rasulullah saw. dan para khalifah setelah Beliau. Mereka tidak lagi berada dalam satu kesatuan jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-Muslimîn) secara hakiki sebagaimana dulu kaum Muslim saat berada dalam naungan Daulah Islam masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam setelahnya. Mereka dicengkeram ‘ashabiyah sempit. Mereka berkubang dalam sistem Jahiliah modern: nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state).
Aneh memang, umat Islam saat ini bisa bersatu dalam satu ibadah mahdhah, yakni ibadah haji. Mereka mengarah ke kiblat yang satu dan berada di tempat ibadah yang sama. Namun, mereka begitu saja abai terhadap kewajiban mereka untuk berada dalam kepemimpinan yang juga satu.
Mereka juga tenggelam dalam kubangan sekularisme di negeri mereka. Mereka senantiasa memisahkan urusan ibadah ritual dengan aspek kehidupan lainnya. Mereka menganggap seolah-olah kewajiban untuk tunduk dan patuh pada perintah Rabbul ‘Izzati hanya dalam ranah ibadah ritual seperti shalat, haji, berkurban dan semisalnya. Sebaliknya, di luar itu—seperti kewajiban mereka untuk berada dalam satu kepemimpinan Islam (Khilafah) dan keharusan mereka untuk membuang sikap ‘ashabiyah yang sempit—seolah tidak pernah diwajibkan oleh Allah dan tidak pernah tertuang dalam lembaran wahyu (al-Quran dan as-Sunnah).
Saat ini dunia, termasuk Dunia Islam, sedang dilanda krisis keuangan global yang cukup parah. Pangkal utamanya tidak lain adalah ekonomi ribawi yang menjadi pilar sistem ekonomi kapitalis saat ini, yang sayangnya justru diterapkan pula di negeri-negeri Muslim. Padahal bukankah sistem ribawi, sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. khutbahkan saat Haji Wada’, sudah Beliau campakkan sejak empat belas abad lalu? Lalu mengapa umat Islam mengadopsinya kembali dan seperti belum mau melepaskannya? Padahal sistem ekonomi berbasis riba inilah yang selama ini telah berkali-kali menggelincirkan umat ke dalam jurang penderitaan dan kemiskinan.
Sungguh bertolak belakang ibadah haji saat ini dengan ibadah haji pada masa Rasulullah saw. Dulu Rasulullah saw. dan kaum Muslim menunaikan ibadah haji dalam naungan sistem Islam, dalam Daulah Islam, dan dalam satu kepemimpinan Islam. Saat itu sistem Jahiliah terkubur secara keseluruhan. Sebaliknya, selama puluhan tahun sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam hingga saat ini, kaum Muslim menunaikan ibadah haji dalam kubangan sistem Jahiliah modern, yakni sistem sekular, dan berada di bawah kepemimpinan yang terkotak-kotak, dengan nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state)-nya masing-masing.
Hari ini ideologi Islam tidak tegak di tengah-tengah umat Islam sebagaimana pada masa Rasulullah saw. Hari ini tidak ada satu pun negara yang menerapkan sekaligus mengemban Islam sebagai ideologi sebagaimana pada masa Nabi saw. Sistem Jahiliah yang berada di telapak kaki Rasulullah saw. dan sudah dihapus oleh Beliau sejak pertama kali Beliau membangun Daulah Islam di Madinah justru sekarang hadir kembali, bahkan mencengkeram umat Islam.
Islam Membutuhkan Pengorbanan Kita
Terkait dengan pengorbanan, al-Quran telah mengabadikan kisah dahsyat Nabiyullah Ibrahim as. Beliau adalah manusia yang menyadari hakikat dirinya sebagai seorang hamba berikut kewajiban-kewajibannya sekaligus menyadari siapa Tuhannya berikut hak-hak-Nya. Kecintaan Ibrahim as. kepada Tuhannya sampai pada tingkatan mutlak. Baginya, Allah SWT adalah segalanya. Karena itulah, demi kecintaan atas Tuhannya, Ibrahim as. tidak pernah merasa berat hati meski Allah SWT memintanya untuk mengorbankan putranya, Ismail as., yang puluhan tahun ia nantikan kehadirannya. Demikianlah, Ibrahim as. dengan ringan tanpa beban ‘menyembelih’ ego dan keakuannya, serta dengan tulus-ikhlas mengorbankan rasa cinta kepada putranya demi mendahulukan cinta kepada Tuhannya. Demikian besar cintanya kepada Allah hingga melebihi kecintaan kepada selain-Nya, pantaslah jika Ibrahim as. digelari sebagai khalîlullâh (kekasih Allah).
Sikap dan pengorbanan Ibrahim as. ini diteladani secara sempurna, bahkan dengan kadar yang istimewa, oleh Baginda Rasulullah saw. Bukan hanya waktu, tenaga, harta dan keluarga yang Rasulullah saw. korbankan. Nyawa pun Beliau pertaruhkan demi tegaknya Islam dan kemuliaan kaum Muslim (’izzatul Islâm wal Muslimîn). Sikap dan pengorbanan Rasulullah saw. ini kemudian diikuti oleh para Sahabat Beliau dan generasi setelah mereka pada masa-masa Kekhilafahan setelahnya ketika mereka mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia.
Inilah esensi ibadah haji dan ibadah kurban pada bulan Dzulhijjah ini. Kita diajari nilai ketundukan dan kepatuhan total sebagai wujud keimanan dan kecintaan kita kepada Allah SWT. Kita pun diajari keharusan untuk mengorbankan segala yang ada pada diri kita, yang sesungguhnya bukan milik kita, tetapi milik sang Pemilik sejati, Allah SWT. Tentu apa yang kita korbankan layak mendapatkan balasan dari Allah SWT:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka dengan surga untuk mereka (QS at-Taubah [9]: 111).
Wahai kaum Muslim…
Sesungguhnya umat ini akan hidup mulia dan meraih kemuliaan hanya dengan Islam. Menegakkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara adalah kewajiban hamba yang beriman. Ini suatu keniscayaan dan tentu membutuhkan pengorbanan. Meruntuhkan dan mengubur sistem selain Islam adalah tantangan sekaligus kewajiban kita. Saatnya umat Islam hidup merdeka; menghamba hanya kepada Tuhan yang mencipta hamba, bukan kepada sesama hamba. Saatnya umat meninggalkan derita di bawah ‘ideologi setan’ (Kapitalisme maupun Sosialisme). Saatnya umat menegakkan kembali kepemimpinan Islam di bawah naungan Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. []
Jumat, 05 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar