Selasa, 30 Desember 2008
Di Balik Serangan Israel Terhadap Gaza
“Mereka (muslim) mendiami wilayah yang luas dan sumber daya alam yang kaya. Mereka mendominasi lalu lintas perjalanan dunia. Tanah mereka adalah pusat peradaban dan agama. Mereka memiliki satu keyakinan, satu bahasa, satu sejarah dan satu aspirasi. Tidak ada batas alam yang mampu memisahkan mereka, satu dari lainnya..kalau saja, bangsa mereka bisa tersatukan dalam satu negara, ia akan menggenggam nasib dunia dan memisahkan Eropa dari belahan dunia lainnya. Mengingat betapa pentingnya masalah ini, entitas asing perlu ditancapkan di jantung mereka agar mereka tidak akan pernah bisa bersatu dan menghabiskan energi mereka dalam peperangan yang tidak berkesudahan. Entitas itu juga bisa menjadi alat bagi Barat untuk mendapatkan apa yang sangat dia idam-idamkan.” (Perdana Menteri Henry Bannerman dalam Laporan Campbell-Bannerman terbit di tahun 1907)
Israel sang negara teroris sekali lagi membantai muslim di Gaza, padahal pejabat Israel telah membocorkan informasi tentang akan adanya serangan sejak dua minggu lalu dimana tidak akan ada siapapun yang selamat. Bahkan pejabat Israel juga menyebutkan bahwa Israel menunggu cuaca yang baik agar bisa membantai dengan baik. Pada Sabtu pagi tanggal 27 Desember di tengah hiruk pikuk kesibukan, pembantaian di mulai.
Gelombang serangan pertama terjadi secara terkoordinasi dalam tempo 3 menit dengan melibatkan 60 jet F-16 menyerang 50 titik target infrastruktur Gaza yang masih tersisa. Gelombang kedua menghancurkan markas HAMAS (perlu diingat bahwa markas tersebut terletak di tengah populasi warga sipil). Dalam satu jam serangan pertama, 155 korban tewas dan jenazah korban terus berdatangan dan memenuhi rumah sakit.
Dengan terbenamnya matahari di Gaza, Israel akan meneruskan serangannya sepanjang malam. Dengan laju serangan seperti ini, Israel akan segera kehabisan target dan Gaza pun akan jatuh. Tank-tank Israel sudah disiagakan dan mengepung Gaza, dan bersiap untuk memasukinya. Pejabat Israel berulang kali mengatakan bahwa serangan ini hanyalah pembukaan, yang dikonfirmasi oleh pernyataan Menteri Pertahanan Israel,’ saat untuk menyerang Gaza telah tiba dan operasi ini tidak akan berlangsung sebentar, operasi akan jauh lebih dalam dan luas apabila diperlukan.”
Israel membenarkan aksinya sebagai tanggapan terhadap tingkat serangan roket terhadap wilayahnya yang diluncurkan dari Gaza. Menlu Israel Tzipi Livni membela serangan udara ini dengan berkata dalam siaran TV,” Israel tidak punya pilihan. Kami melakukan apa yang kami harus lakukan untuk melindungi warga kami.” Israel menuduh HAMAS, yang memenangkan pemilu 18 bulan lalu dan didukung oleh Iran, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap serangan roket ini.
Israel memang selalu mengkambinghitamkan HAMAS sebagai kelompok Islam radikal yang bertujuan menghapus Israel, padahal Israel telah memblokade Gaza sejak lama. Secara rutin, Israel menutup jalur penyeberangan perbatasan menuju Gaza, yang berakibat pada kelaparan massal. Dalam sebulan terakhir, penyeberangan menuju ke Gaza dibuka selama 5 hari saja. Perwakilan PBB untuk Gaza menggambarkan situasi yang menyedihkan sebagai berikut,” Tiap hari adalah perjuangan untuk tetap bertahan hidup. Warga benar-benar kelaparan. Semua serba kekurangan, termasuk makanan yang sempat habis selama dua hari, dan fakta yang semakin memburuk yang bisa berakhir kepada kepahitan… kami berusaha keras mencari alasan untuk memiliki harapan yang realistis.”
Politik
Tanggapan dunia pun sudah bisa diduga. Israel tetap menjadi anak favorit bagi Barat. PM Inggris Gordon Brown dalam wawancara dengan BBC mengatakan bahwa ia ’sangat prihatin’ dan mengatakan bahwa milisi Palestina harus menghentikan serangan roket terhadap Israel, meskipun Palestina adalah pihak yang diserang dan Muslim dibantai.
Tanggapan penguasa muslim, yang selama ini tidak peduli terhadap jatuhnya korban muslim pun tidak bicara banyak. Mesir yang memiliki batas dengan jalur Gaza telah melakukan pembicaraan dengan Menlu Israel Tzipi Livni mengenai gencatan senjata. Hasilnya, Hamas menolak gencatan senjata selama Gaza masih diblokade Israel. Hubungan Mesir dengan Gaza pun memburuk. Telah diketahui bahwa Mesir marah besar ketika Hamas menolak berbicara dengan Fatah bulan lalu yang sedianya dijadwalkan berlangsung di Mesir. Media Arab pun melaporkan bahwa Hosni Mubarak juga menuduh Hamas telah melakukan kesalahan besar ketika menolak adanya gencatan senjata. Harian Al Quds Al Arabi yang berpusat di London juga melaporkan bahwa Mesir tidak akan memprotes serangan Israel, yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas di Gaza. Di samping itu keberadaan Tzipi Livni di ibukota Mesir adalah suatu peristiwa yang tidak biasa karena umumnya Hosni Mubarak menemui pejabat Israel di kawasan wisata Sharm el-Sheikh.
Dalam wawancara dengan Al-Jazeera, Azzam Tamimi, direktur Institut Pemikiran Politik Islam (Institute of Islamic Political Thought) dan pakar masalah Palestina, menggambarkan pengamatannya sebagai berikut, ” Saya duga operasi militer ini tidak hanya terbatas tapi juga berusaha untuk mengganti penguasa di Gaza, kalau tidak, kenapa Israel juga mentargetkan jajaran kepolisian? Yang menembakkan roket di Israel bukanlah para polisi dan polisi bertugas untuk menjaga keamanan di Gaza. Operasi ini ditujukan untuk menciptakan kekacauan dan kemungkinan besar Mesir dan Ramallah berkolusi dalam hal ini. Tidak mungkin berani Israel melancarkan serangan dalam skala sebesar ini tanpa adanya ijin dari kalangan tertentu, seperti Amerika, Eropa, dan juga Mesir dan Ramallah.”
Israel menggunakan muslim sebagai pion
Situasi politik domestik Israel jauh dari kestabilan selama setahun terakhir ini dan situasi tersebut adalah latar belakang serangan oportunis Israel terhadap Gaza. Sejak konflik Israel vs Lebanon pada tahun 2006, dimana Israel sendiri mengakui kekalahannya, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan kabinetnya telah dipermalukan. Tidak hanya kekalahan Lebanon, pemerintahan pimpinan Olmert juga tercemar dengan berbagai skandal yang menyebabkan tekanan publik yang berakhir pada turunnya Olmert sebagai ketua partai Kadima. Penggantinya, Tzipi Livni sejauh ini gagal untuk menyatukan koalisi yang memimpin pemerintahan Israel dan terpaksa melaksanakan Pemilu yang dijadwalkan pada bulan Februari 2009. Livni juga tidak dalam posisi untuk memenangkan Pemilu dalam bersaing melawan Benjamin Netanyahu dari Partai Likud. Dalam janji politiknya, Netanyahu menyatakan akan menumbangkan pemerintahan Hamas.
Survei yang diambil pada detik-detik dimulainya penyerangan oleh Israel menunjukkan bahwa partai Kadima mulai lebih populer. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan waktu penyerangan diatur sehingga popularitas Kadima bisa terangkat pada Pemilu yang sebentar lagi akan digelar. Kesibukan AS dalam persiapan prosesi peralihan pemerintahan dari Presiden Bush ke Presiden terpilih Obama, juga memberikan Israel kesempatan emas ketika AS sendiri masih disibukkan oleh penggantian kekuasaan.
Kesimpulan
Sekali lagi Israel menunjukkan bahwa ia tidak menghargai kehidupan muslim ketika ia membantai muslim di Gaza setelah ia memblokadenya dan membuatnya kelaparan berbulan-bulan agar ia bisa memenangkan Pemilu. Di lain pihak, peristiwa tragis ini juga membongkar kedok para penguasa muslim yang ternyata tidak memiliki tulang punggung keberanian dalam membela jiwa dan kehormatan umat. Mereka lupa kata-kata Rasulullah saaw ketika berdiri di samping Ka’bah,” Darah seorang muslim lebih berharga ketimbang Ka’bah dan sekelilingnya.”
Selama bertahun-tahun, Saudi Arabia adalah konsumen peralatan militer terbesar di dunia namun itu semua tidak terpakai padahal muslim dianiaya tidak jauh darinya. Perlu diingat bahwa pamor kekuatan militer Israel musnah di tahun 2006 ketika Hezbollah secara efektif mampu mempercundangi Israel. Dalam laporan komisi penyelidik Israel disebutkan banyak kegagalan dan penyebab kekalahan dimana terlihat bahwa militer Israel tidak mampu menghadapi serangan gerilya dan tidak diciptakan untuk melakukan serangan darat. Hal ini terlihat dalam konflik 2006, dimana sekelompok paramiliter muslim dengan iman kepada ALLAH mampu menahan kekuatan militer yang didukung suatu pemerintah. Serbuan darat yang dilakukan Israel setelah 30 tahun ternyata gagal total, terbongkarlah kelemahannya, dan hancurlah pamornya.
Pasukan dari penjuru manapun di Dunia Islam mampu menghentikan pembantaian Palestina. Pasukan dunia Arab harus bertindak, bersatu, dan memenuhi tanggungjawab mereka di hadapan ALLAH dalam melindungi nyawa muslim di Palestina.
Ini bukan saatnya lagi untuk pertemuan, rapat, dan gencatan senjata. Israel sekali lagi telah menumpahkan darah Muslim dan ALLAH telah menentukan Jihad sebagai solusi terhadap tindakan pengecut seperti sekarang. Hanya dengan pembentukan Khilafah, pasukan muslim akan bebas berderap kembali dan berjihad di Palestina, dimana Kalimatullah akan kembali menjadi tinggi.
Semua anggota pasukan muslim harus mencerna firman ALLAH azza wa jall:
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (QS An Nisa : 95)
Senin, 29 Desember 2008
Gaza Dibombardir !
Hari ini Israel menyerang Gaza, yang didiami 1,5 juta muslim dan membunuh lebih dari 205 warga dan ratusan lainnya terluka.
Rasulullah saaw menyatakan,
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih-sayang dan ikatan emosional ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, mengakibatkan seluruh anggota tidak dapat istirahat dan sakit panas.” [HR. Bukhari]
Tubuh kaum mukmin kembali menderita, tidak bisa tidur dan demam ketika Israel melakukan aksi terornya terhadap muslim Palestina.
Gaza diserang hampir tiap hari selama bertahun-tahun. Namun, tidak puas hanya dengan membunuh muslim saja, Israel juga memblokade Gaza dan melarang pemasokan makanan, air, kesehatan dan bahan bakar untuk kebutuhan penduduk sehari-hari.
Hidup untuk warga muslim sungguh sengsara bahkan banyak keluarga yang terpaksa harus makan rumput! Salah satu keluarga tersebut adalah Jindiya Abu Amra dan anak perempuannya yang berumur 12 tahun, dimana mereka mengais rumput untuk tetap bertahan hidup. “Kami makan sekali sehari yaitu dengan khobbeizeh,” kata Abu Amra sambil menunjukkan dedaunan dari semacam tanaman yang tumbuh liar di sepanjang jalan-jalan di Gaza. “Tiap hari saya bangun dan mulai mencari kayu dan plastik sebagai bahan bakar dan saya juga mengemis. Kalau tidak mendapat apa-apa, kami makan rumput ini.”
Israel adalah musuh umat Islam yang nyata. Kejahatannya terhadap warga muslim Palestina sudah jelas. Serangan terakhir ini sebenarnya tidak mengejutkan. Tapi yang lebih buruk dari itu adalah pengkhianatan para penguasa muslim seperti Hosni Mubarak dari Mesir dan perannya dalam membantu dan mendukung blokade Israel terhadap Gaza dan pendudukan Palestina.
Tzipi Livni yang menjabat Menlu Israel sudah terang-terangan mengatakan bahwa Israel telah mempersiapkan serangan terhadap Gaza. Minggu lalu, ia menyuruh perwakilan Israel di luar negeri untuk melobi anggota Dewan Keamanan PBB dan negara-negara Eropa untuk mendukung aksi serangan terhadap Gaza.
Kamis minggu ini adalah suatu tradisi di mana sebelum serangan besar terhadap muslim dimulai, Livni pergi menemui Mubarak di Mesir untuk tetap diam, menutup mata, dan tidak ikut campur dalam serangan Israel. Inilah bukti dukungan Mesir terhadap rencana Livni.
Editor utama harian Al-Quds Al-Arabi hari ini mengkritik habis Menlu Mesir Ahmed Aboul Gheit, yang tidak sedikitpun berani menyatakan sikap keberatan terhadap rencana Menlu Israel Tzipi Livni dalam mengancam Hamas, dalam kunjungannya ke ibukota Mesir minggu lalu.
Wahai Muslim!
Lihatlah betapa murahnya harga darah kita. Bukankah Rasulullah saaw pernah berkata:
“Darah umat Muslim lebih berharga dibanding Ka’bah dan sekitarnya.”
Namun hari ini darah umat kembali tumpah membasahi jalanan Palestina, Iraq dan Afghanistan tanpa satupun yang bergerak untuk membalasnya. Karena begitu murahnya di Iraq, Amerika pun secara ringan mengakui untuk berhenti menghitung korban yang tewas!
Wahai Muslim!
Kami tahu darah kalian mendidih dan menderita sekali lagi. Inilah saatnya untuk mengarahkan daya dan kekuatan untuk bekerja mengganti penguasa boneka dan menunjuk satu pemimpin, yaitu Khalifah untuk menggantikan mereka. Khalifah adalah pemimpin, dimana ia adalah pelayan kalian dan bekerja untuk kepentingan kalian saja. Ia akan hapus tapal batas- tapal batas yang mengkotak-kotak tanah muslim dan menyatukannya dalam satu negara besar, negara Khilafah. Hanya dengan itu, blokade laut terhadap Gaza bisa dihentikan, uang sadaqah disalurkan, dan penduduk Gaza laki-laki, perempuan dan anak-anak bisa terlindungi dari kebiadaban Israel.
Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Imam adalah perisai, dengan perisai itu Umat berperang dan melindungi dirinya.” [HR. Muslim]
Di bawah pimpinan Khalifah, imam yang menyatukan umat Muslim dunia, pasukan Islam disatukan untuk menghentikan kekejaman Israel dan membebaskan setiap jengkal tanah Palestina termasuk Gaza dengan Jihad, seperti yang dilakukan sebelumnya oleh Khalifah Nur-ad-deen dan panglimanya Salahudin Ayyubi semasa Perang Salib dulu.
Mesir saat itu berada dibawah kekuasaan Fatimid yang memisahkan diri dari kekuasaan Khilafah Abbasid. Perpecahan ini menyebabkan masuknya pasukan Salibi dari Eropa ke wilayah muslim hingga berhasil menduduki Al Quds dan Al Shaam (Palestina, Lebanon, Jordan, Syria, dan sebagian Iraq). Akhirnya Panglima Salahudin Ayyubi berhasil menundukkan Fatimid di Mesir, mengembalikan kesatuan Khilafah, dan kembali menyatukan pasukan Islam sekali lagi sebelum memusatkan satu kekuatan militer dalam membebaskan Al Shaam dan Al Quds dari pendudukan dan pengaruh pasukan Salib.
لبَّيْكَ اللَّهُمَّ وَمَلايِينٌ تَنْتَظِرُ تَلْبِيَةَ النِّداءِ وَلَمْ يَمْنَعْها مِنَ التَّلْبِيَةِ الْمالُ وَالْوَلَدُ بَلْ مَنَعَهُمْ حُدُودٌ وَحَواجِزٌ وَصَدُّ طُغاةٍ جَبابِرَةٍ تَحَكَّمُواْ بِالرِّقابِ وَالْعِبادِ .
Ya Allah! Kami siap mengabdi untuk-Mu, dan jutaan telah siap memenuhi panggilan jihad di jalanMu. Bukan dana maupun pemuda yang menjadi penghalang kami, namun perbatasan dan rintangan penguasa Taghut yang memasung kami.
Jumat, 26 Desember 2008
Natal, "Imprealisme" Kasih Sayang, dan Kegagalan Gereja
“Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan Belanda… Kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan (Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum)
Ada yang selalu berulang pada bulan Desember, semarak perayaan natal di mana-mana. Di bulan ini Indonesia yang mayoritas Islam , bak kan negeri di Eropa. Di toko-toko, supermarket, perusahaan swasta, sampai instansi pemerintahan hari natal disambut dengan meriah. Acara tv pun dipenuhi dengan film, dokumentar, talkshow, berita, entertainment yang bertemakan natal.
Tentu saja bagi yang pemeluk agama Nashrani sah-sah saja merayakan natal. Tapi ‘memblow up’ demikian rupa kegiatan Natal , apa tidak menyakitkan umat Islam. Lihat saja di super market yang tentu saja mayoritas pengunjungnya umat Islam disuguhi lagu-lagu natal terus menerus. Tidak hanya itu karyawan sampai satpam yang kita yakin mayoritas Islam pun ‘dipaksa’ pakai atribut Natal seperti topi Santa Claus. Dimana toleransi pemilik TV yang memang mayoritas beragama kristen ? Umat Islam disuguhi terus menerus dengan tema-tema Natal. Ini tentu saja harus kita protes.
Bagi Umat Islam sendiri, merayakan natal jelas diharamkan. Sebab , perayaan Natal adalah bagian dari ibadah umat Nashrani. Syariat Islam sendiri dengan tegas melarang umat Islam mengikuti tata acara hidup pemeluk agama Yahudi dan Nasharani. Apalagi merayakan kegiatan ibadah mereka .
Fatwa dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, isinya sudah sangat jelas . Antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Disamping itu ‘kasih sayang’ pun menjadi tema utama yang sering didakwahkan pemeluk kristen dalam bulan ini. Lagi-lagi, adalah hak pemeluk kristen mengangkat tema ini. Yang kita tantang adalah ‘kasih sayang’ kemudian menjadi kedok untuk memurtadkan umat Islam. Atas nama menyebarkan kasih sayang dibuat acara yang memberikan bantuan kepada umat Islam untuk kemudian dimurtadkan. Ini tentu kita protes.
Seperti yang terjadi di Bekasi baru-baru ini , dengan topeng Bekasi Berbagi Bahagia (B3), tapi ternyata isinya adalah kegiatan terselubung pemurtadan. Acara dimulai dengan hiburan, kemudian para peserta yang mayoritas Islam diceburkan ke kolam renang buatan, mirip ritual pembaptisan . Di akhir acara, para pengunjung diajak berdoa dengan menyebut-nyebut nama Jesus.
Tema menyebarkan ‘kasih-sayang’ ini pun kehilangan maknanya kalau kemudian diartikan sebatas kegiatan sosial gereja membagi-bagikan sembako murah atau memberikan pendidikan murah bagi rakyat miskin. Sementara Gereja cendrung mendiamkan akar persoalan dari kemiskinan di masyarakat yakni penerapan sistem kapitalisme. Padahal kapitalisme penyebab sistematis kemiskinan masyarakat.
Apalagi kalau gereja malah didanai oleh negara-negara Kapitalis dan perusahaan-perusahaan global kapitalisme yang rakus. Bantuan dana yang digunakan untuk memurtadkan umat Islam, justru sebenarnya berasal dari kekayaan alam umat Islam yang dirampok oleh negara-negara Kapitalis itu.
Makna ‘kasih sayang’ gereja pun semakin dipertanyakan ketika gereja gagal menghentikan pembantaian manusia yang menjadi bencana kemanusiaan yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis rakus di dunia termasuk di negeri Islam. Pesan kasih sayang gereja pun menjadi hambar. Ketika gereja gagal menghentikan pembantaian di Irak, Afghanistan, Palestina, yang dilakukan negara-negara Kapitalis.
Apalagi kalau tindakan pembantaian itu dilakukan dengan motif agama , sungguh dipertanyakan. Esther Kaplan dalam bukunya With God on Their Side: How Christian Fundamentalists Trampled Science, Policy, and Democracy in George W. Bush’s White House, (New York: The New Press, 2004), hal. 5), menulis bagaimana sejak Bush berkuasa di gedung putih secara rutin dilakukan studi Bible mingguan yang dihadiri lebih dari setengah staff Gedung Putih. Tidak mengherankan kalau berkali-kali Bush mengatakan kebijakannya dalam pemerintah di pengaruhi oleh ajaran kristen.
Berkaitan dengan Irak Bush mengatakan Tuhan mengatakan dia untuk menyerang al Qaida dan Saddam Husain : “God told me to strike at al-Qaeda and I struck them, and then he instructed me to strike at Saddam, which I did, and now I am determined to solve the problem in the Middle East.”
Sayangnya saat bertemu dengan Bush , Paus tidak secara terbuka mengecam kebijakan AS di negara-negara tersebut yang oleh banyak pihak justru dianggap menjadi pangkal utama krisis di kawang tersebut . Hal ini tentu amat disayangkan. Padahal seharusnya Paus bicara lantang menentang kebijakan penjajahan AS di Irak. Seruan perdamaian Paus ditanggapi skeptis oleh banyak pihak.
Paus yang dianggap tokoh perdamaian tersebut tidak bisa menghentikan perang. Bahkan sekadar melarang tentara Italia pergi bersama AS memerangi umat Islam di Irak Paus tidak bisa. Paus dan Gereja juga tidak bisa berbuat banyak menghentikan praktik-praktik diskriminasi terhadap umat Islam di Eropa, seperti larangan jilbab di Prancis, meskipun Paus mengecamnya
Kegagalan gereja bisa dimengerti, karena Paus dan Gereja hanya bergerak dalam tataran spritual dan moral saja. Padahal berbagai persoalan manusia seperti perang, kemiskinan, konflik, atau kerusakan moral tidak bisa diselesaikan hanya dengan seruan-seruan spritual dan moral saja.
Pangkal persoalan dari semua itu adalah sistem Kapitalisme sekular yang rusak. Karenanya harus ada perubahan ideologi sistem dunia saat ini. Penjajahan seperti di Irak, Afganistan, maupun Palestina, misalnya, jelas harus dilawan dengan perang/jihad terhadap sang penjajah, bukan sekadar dihadapi dengan seruan moral.
Paus dan Gereja terjebak dalam berbagai kontradiksi yang membingungkan sekaligus menurunkan wibawa mereka sendiri. Di satu sisi Gereja menentang perang yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis, di sisi lain Gereja hidup di bawah dukungan negara-negara kapitalis. Tentu sulit membayangkan dari mana dana Gereja yang demikian besar jika tidak didukung oleh perusahan-perusahan kapitalis dan negara-negara kapitalis yang mengeksploitasi kekayaan alam Dunia Ketiga, terutama Dunia Islam, secara rakus.
Lalu pemimpin seperti apa yang dibutuhkan dunia saat ini? Tidak lain pemimpin yang tidak hanya menyerukan perdamaian, tetapi juga bisa mewujudkan perdamaian. Dia adalah Khalifah, pemimpin tertinggi kaum Muslim, dengan sistem Khilafah-nya. Khalifahlah, dengan sistem Khilafah-nya, yang secara kongkret akan mampu menyelamatkan dunia dengan Islam;
Sejarah telah membuktikan, pada masa lalu, Khalifah kaum Muslim pada masa Khilafah Utsmaniyah pernah memberikan bantuan pangan kepada rakyat Amerika pada abad ke-18 yang mengalami kelaparan setelah perang panjang melawan Inggris. Khalifah kaum Muslim pada masa Khilafah Utsmaniyah juga pernah melindungi Raja Swedia dan berbuat baik kepada Raja Prancis yang meminta perlindungan pada Khilafah.Khilafah Utsmaniah juga pernah melindungi rakyat Aceh dari penjajahan Portugis dengan mengirim ekspedisi militer besar di bawah laksamananya, Kortoglu Hizier Reis.
Walhasil, ketika agama hanya sekedar menyerukan kasih kasih sayang membantu orang miskin, tapi tidak menghentikan kapitalisme yang menjadi sumber kemiskinan, berarti agama telah gagal. Termasuk ketika agama tidak bisa menghentikan penjajahan kapitalisme yang menimbulkan bencana kemanusiaan, agama tersebut juga telah gagal. Dan ketika agama itu kemudian berkoalisi dengan negara-negara kapitalis penyebar perang , kasih sayang telah menjadi alat imperialisme . ‘Imperialisme kasih sayang’ untuk kepentingan negara kapitalis justru lebih mengerikan .
Ada yang selalu berulang pada bulan Desember, semarak perayaan natal di mana-mana. Di bulan ini Indonesia yang mayoritas Islam , bak kan negeri di Eropa. Di toko-toko, supermarket, perusahaan swasta, sampai instansi pemerintahan hari natal disambut dengan meriah. Acara tv pun dipenuhi dengan film, dokumentar, talkshow, berita, entertainment yang bertemakan natal.
Tentu saja bagi yang pemeluk agama Nashrani sah-sah saja merayakan natal. Tapi ‘memblow up’ demikian rupa kegiatan Natal , apa tidak menyakitkan umat Islam. Lihat saja di super market yang tentu saja mayoritas pengunjungnya umat Islam disuguhi lagu-lagu natal terus menerus. Tidak hanya itu karyawan sampai satpam yang kita yakin mayoritas Islam pun ‘dipaksa’ pakai atribut Natal seperti topi Santa Claus. Dimana toleransi pemilik TV yang memang mayoritas beragama kristen ? Umat Islam disuguhi terus menerus dengan tema-tema Natal. Ini tentu saja harus kita protes.
Bagi Umat Islam sendiri, merayakan natal jelas diharamkan. Sebab , perayaan Natal adalah bagian dari ibadah umat Nashrani. Syariat Islam sendiri dengan tegas melarang umat Islam mengikuti tata acara hidup pemeluk agama Yahudi dan Nasharani. Apalagi merayakan kegiatan ibadah mereka .
Fatwa dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, isinya sudah sangat jelas . Antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Disamping itu ‘kasih sayang’ pun menjadi tema utama yang sering didakwahkan pemeluk kristen dalam bulan ini. Lagi-lagi, adalah hak pemeluk kristen mengangkat tema ini. Yang kita tantang adalah ‘kasih sayang’ kemudian menjadi kedok untuk memurtadkan umat Islam. Atas nama menyebarkan kasih sayang dibuat acara yang memberikan bantuan kepada umat Islam untuk kemudian dimurtadkan. Ini tentu kita protes.
Seperti yang terjadi di Bekasi baru-baru ini , dengan topeng Bekasi Berbagi Bahagia (B3), tapi ternyata isinya adalah kegiatan terselubung pemurtadan. Acara dimulai dengan hiburan, kemudian para peserta yang mayoritas Islam diceburkan ke kolam renang buatan, mirip ritual pembaptisan . Di akhir acara, para pengunjung diajak berdoa dengan menyebut-nyebut nama Jesus.
Tema menyebarkan ‘kasih-sayang’ ini pun kehilangan maknanya kalau kemudian diartikan sebatas kegiatan sosial gereja membagi-bagikan sembako murah atau memberikan pendidikan murah bagi rakyat miskin. Sementara Gereja cendrung mendiamkan akar persoalan dari kemiskinan di masyarakat yakni penerapan sistem kapitalisme. Padahal kapitalisme penyebab sistematis kemiskinan masyarakat.
Apalagi kalau gereja malah didanai oleh negara-negara Kapitalis dan perusahaan-perusahaan global kapitalisme yang rakus. Bantuan dana yang digunakan untuk memurtadkan umat Islam, justru sebenarnya berasal dari kekayaan alam umat Islam yang dirampok oleh negara-negara Kapitalis itu.
Makna ‘kasih sayang’ gereja pun semakin dipertanyakan ketika gereja gagal menghentikan pembantaian manusia yang menjadi bencana kemanusiaan yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis rakus di dunia termasuk di negeri Islam. Pesan kasih sayang gereja pun menjadi hambar. Ketika gereja gagal menghentikan pembantaian di Irak, Afghanistan, Palestina, yang dilakukan negara-negara Kapitalis.
Apalagi kalau tindakan pembantaian itu dilakukan dengan motif agama , sungguh dipertanyakan. Esther Kaplan dalam bukunya With God on Their Side: How Christian Fundamentalists Trampled Science, Policy, and Democracy in George W. Bush’s White House, (New York: The New Press, 2004), hal. 5), menulis bagaimana sejak Bush berkuasa di gedung putih secara rutin dilakukan studi Bible mingguan yang dihadiri lebih dari setengah staff Gedung Putih. Tidak mengherankan kalau berkali-kali Bush mengatakan kebijakannya dalam pemerintah di pengaruhi oleh ajaran kristen.
Berkaitan dengan Irak Bush mengatakan Tuhan mengatakan dia untuk menyerang al Qaida dan Saddam Husain : “God told me to strike at al-Qaeda and I struck them, and then he instructed me to strike at Saddam, which I did, and now I am determined to solve the problem in the Middle East.”
Sayangnya saat bertemu dengan Bush , Paus tidak secara terbuka mengecam kebijakan AS di negara-negara tersebut yang oleh banyak pihak justru dianggap menjadi pangkal utama krisis di kawang tersebut . Hal ini tentu amat disayangkan. Padahal seharusnya Paus bicara lantang menentang kebijakan penjajahan AS di Irak. Seruan perdamaian Paus ditanggapi skeptis oleh banyak pihak.
Paus yang dianggap tokoh perdamaian tersebut tidak bisa menghentikan perang. Bahkan sekadar melarang tentara Italia pergi bersama AS memerangi umat Islam di Irak Paus tidak bisa. Paus dan Gereja juga tidak bisa berbuat banyak menghentikan praktik-praktik diskriminasi terhadap umat Islam di Eropa, seperti larangan jilbab di Prancis, meskipun Paus mengecamnya
Kegagalan gereja bisa dimengerti, karena Paus dan Gereja hanya bergerak dalam tataran spritual dan moral saja. Padahal berbagai persoalan manusia seperti perang, kemiskinan, konflik, atau kerusakan moral tidak bisa diselesaikan hanya dengan seruan-seruan spritual dan moral saja.
Pangkal persoalan dari semua itu adalah sistem Kapitalisme sekular yang rusak. Karenanya harus ada perubahan ideologi sistem dunia saat ini. Penjajahan seperti di Irak, Afganistan, maupun Palestina, misalnya, jelas harus dilawan dengan perang/jihad terhadap sang penjajah, bukan sekadar dihadapi dengan seruan moral.
Paus dan Gereja terjebak dalam berbagai kontradiksi yang membingungkan sekaligus menurunkan wibawa mereka sendiri. Di satu sisi Gereja menentang perang yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis, di sisi lain Gereja hidup di bawah dukungan negara-negara kapitalis. Tentu sulit membayangkan dari mana dana Gereja yang demikian besar jika tidak didukung oleh perusahan-perusahan kapitalis dan negara-negara kapitalis yang mengeksploitasi kekayaan alam Dunia Ketiga, terutama Dunia Islam, secara rakus.
Lalu pemimpin seperti apa yang dibutuhkan dunia saat ini? Tidak lain pemimpin yang tidak hanya menyerukan perdamaian, tetapi juga bisa mewujudkan perdamaian. Dia adalah Khalifah, pemimpin tertinggi kaum Muslim, dengan sistem Khilafah-nya. Khalifahlah, dengan sistem Khilafah-nya, yang secara kongkret akan mampu menyelamatkan dunia dengan Islam;
Sejarah telah membuktikan, pada masa lalu, Khalifah kaum Muslim pada masa Khilafah Utsmaniyah pernah memberikan bantuan pangan kepada rakyat Amerika pada abad ke-18 yang mengalami kelaparan setelah perang panjang melawan Inggris. Khalifah kaum Muslim pada masa Khilafah Utsmaniyah juga pernah melindungi Raja Swedia dan berbuat baik kepada Raja Prancis yang meminta perlindungan pada Khilafah.Khilafah Utsmaniah juga pernah melindungi rakyat Aceh dari penjajahan Portugis dengan mengirim ekspedisi militer besar di bawah laksamananya, Kortoglu Hizier Reis.
Walhasil, ketika agama hanya sekedar menyerukan kasih kasih sayang membantu orang miskin, tapi tidak menghentikan kapitalisme yang menjadi sumber kemiskinan, berarti agama telah gagal. Termasuk ketika agama tidak bisa menghentikan penjajahan kapitalisme yang menimbulkan bencana kemanusiaan, agama tersebut juga telah gagal. Dan ketika agama itu kemudian berkoalisi dengan negara-negara kapitalis penyebar perang , kasih sayang telah menjadi alat imperialisme . ‘Imperialisme kasih sayang’ untuk kepentingan negara kapitalis justru lebih mengerikan .
Kamis, 25 Desember 2008
Hukum Melibatkan Diri dalam Perayaan Natal dan Perayaan Agama Lainnya
Perayaan Natal Bersama yang melibatkan umat Islam masih saja marak terjadi. Kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haramnya umat Islam terlibat dalam perayaan Natal, namun banyak yang tidak mengindahkan fatwa itu. Bahkan, hampir tidak ada perayaan Natal Bersama yang tidak dihadiri pejabat publik atau tokoh politik. Toleransi dan persatuan kerapkali dijadikan sebagai dalihnya. Keadaan semakin runyam ketika ada sejumlah ’ulama’ atau ’tokoh Islam’ yang melegitimasi sikap tersebut dengan berbagai dalil yang telah disimpangkan sedemikian rupa.
Bagaimana sesunguhnya hukum melibatkan diri dalam perayaan natal dan hari raya agama-agama lainnya?
Haram Hadir dalam Perayaan Kufur
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak menghadirinya (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110).
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt:
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam [19]: 33).
Memang dalam ayat ini disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu tidak ada kaitannya dengan ucapan selamat natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25 Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak terkalahkan).
Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman Allah Swt:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah [5]: 72).
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 73-74).
Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb.
Bagaimana sesunguhnya hukum melibatkan diri dalam perayaan natal dan hari raya agama-agama lainnya?
Haram Hadir dalam Perayaan Kufur
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak menghadirinya (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110).
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt:
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam [19]: 33).
Memang dalam ayat ini disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu tidak ada kaitannya dengan ucapan selamat natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25 Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak terkalahkan).
Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman Allah Swt:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah [5]: 72).
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 73-74).
Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb.
Selasa, 23 Desember 2008
UU Minerba dan UU BHP: "Kado Pahit" Untuk Rakyat
Lagi, DPR—yang katanya wakil rakyat—menunjukkan ‘wajah asli’-nya: mengkhianati rakyat! Di akhir tahun ini, DPR ‘menghadiahi’ rakyat dengan dua ‘kado pahit’. Pertama: UU Minerba (Undang-undang Mineral dan Batubara) yang disahkan pada 16 Desember 2008 (Detikfinance.com, 16/12/08). Kedua, UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang disahkan pada 17 Desember 2008 (Pikiran Rakyat, 17/12/08). Artinya, pengesahan kedua UU ini hanya berselang sehari.
Pengesahan kedua UU ini menjadi bukti pengkhianatan DPR—juga Pemerintah—terhadap rakyat yang diwakilinya untuk kesekian kalinya. Sebab, kedua UU ini lagi-lagi berpotensi mencampakkan kepentingan rakyat.
UU Minerba—yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Pertambangan—semakin menyempurnakan lepasnya peran Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal (swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal. Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asing—karena asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuat—untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90 persennya sudah dikuasai asing. (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).
Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. Padahal pendidikan jelas merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi Pemerintah secara cuma-cuma.
Liberalisasi di Balik UU Minerba dan UU BHP
1. UU Minerba.
Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? “Demi menjamin kepastian hukum bagi kalangan investor.” Lagi-lagi begitulah alasan ‘logis’ Pemerintah. Alasan yang sama juga pernah dilontarkan Pemerintah saat UU Migas, UU SDA maupun UU Penanaman Modal disahkan. Hanya demi kepastian hukum bagi kalangan pengusaha, Pemerintah tega mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam UU Minerba, misalnya, jelas-jelas sejumlah kontrak di bidang pertambangan yang selama ini amat merugikan rakyat—yang telah berjalan lebih dari 40 tahun sejak Orde Baru—tidak akan diotak-atik. Padahal sebagian besar dari kontrak-kontrak itu baru akan berakhir tahun 2021 dan 2041. Memang, dengan berpegang pada pasal 169b UU Minerba ini, Pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Namun, UU Minerba ini tetap mengakomodasi pasal 169a yang melindungi keberadaan kontrak-kontrak lama itu. Itulah yang menjadi alasan mengapa Pemerintah tidak akan ’semena-mena’ mencabut kontrak pertambangan yang sudah ada. “Tujuh fraksi di DPR kan juga sudah mengatakan kontrak yang sudah ada perlu dipertahankan siapapun menteri dan presidennya. Itu adalah kontrak negara dengan mereka. Jadi itu yang harus dihormati,” ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro (Kontan.co.id, 18/12/08).
Di sisi lain, hingga 2006 saja, Pemerintah telah menerbitkan sedikitnya 2.559 ijin pertambangan dan batubara. Itu belum termasuk ijin tambang galian C, ijin tambang migas dan Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah pada masa otonomi daerah. Di Kalimantan Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan. Di Kalimantan Timur ada 509 ijin. Di Sulawesi Tenggara ada 127 ijin tambang. Di kabupaten baru, Morowali, Sulawesi Tengah, bahkan sudah dikeluarkan 190 perijinan. Jumlah ini akan terus bertambah dan luas lahan untuk dikeruk akan makin meluas. Tidak ada batasan kapan dan berapa jumlah ijin yang patut dikeluarkan tiap daerah (Jatam.org, 28/11/08). Yang pasti, ribuan ijin tersebut, selama belum berakhir, tidak akan pernah bisa diotak-atik berdasarkan UU Minerba yang baru itu.
2. UU BHP.
Terkait UU BHP, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk melegalisasi ‘aksi lepas tanggung jawab’ Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, ”Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08).
Namun, yang perlu dipertanyakan: Pertama, bukankah UU BHP ini masih mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan? Padahal Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan cuma-cuma alias gratis kepada rakyatnya—karena memang itu hak mereka—dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kedua, jatah 20 persen kursi untuk siswa/mahasiswa miskin tentu tidak memadai dan tidak adil. Sebab, di negeri ini rakyat miskin yang tidak bisa sekolah, apalagi sampai ke perguruan tinggi, jumlahnya puluhan juta. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Lalu menurut data Balitbang Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti anak-anak putus sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.
Tolak Liberalisasi, Terapkan Syariah!
Dari sekilas paparan di atas, jelas bahwa liberalisasi atas negeri ini semakin hari semakin dalam dan semakin merambah semua bidang kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah UU. Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU Sisdiknas dan UU BHP. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah. Di bidang sosial ada UU KDRT dan UU Pornografi. Demikian seterusnya.
Sementara itu, puluhan UU lain masih berupa rancangan. Yang masuk dalam Prolegnas selama 2006-2009 saja ada sekitar 173 RUU yang siap diundangkan (Legalitas.org, di-download pada 23/12/08). Melihat ‘track-racord’ DPR yang jelas-jelas buruk dalam melegislasi/mengesahkan sejumlah UU, sebagaimana dicontohkan di atas, kita tentu semakin khawatir bahwa sejumlah RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas itu pun akan tetap mengadopsi nilai-nilai ‘liberal’. Ujung-ujungnya, rakyatlah yang rugi, dan yang untung hanya segelintir kalangan, termasuk asing. Pasalnya, tidak dipungkiri, ‘aroma uang’—atau paling tidak, ‘aroma kepentingan’ elit partai—hampir selalu mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh sejumlah lembaga asing seperti World Bank, ADB dan USAID.
Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batubara, dll dikelola oleh negara secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri ini. Liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk campur-tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan syariah Islam oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Padahal Allah SWT telah berfirman:
Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Kenyataan yang ada membenarkan firman Allah SWT di atas. Akibat hukum Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi ‘pintu masuk’ liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri, kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?
Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum Allahlah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula, keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya.
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).[]
Pengesahan kedua UU ini menjadi bukti pengkhianatan DPR—juga Pemerintah—terhadap rakyat yang diwakilinya untuk kesekian kalinya. Sebab, kedua UU ini lagi-lagi berpotensi mencampakkan kepentingan rakyat.
UU Minerba—yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Pertambangan—semakin menyempurnakan lepasnya peran Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal (swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal. Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asing—karena asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuat—untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90 persennya sudah dikuasai asing. (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).
Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. Padahal pendidikan jelas merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi Pemerintah secara cuma-cuma.
Liberalisasi di Balik UU Minerba dan UU BHP
1. UU Minerba.
Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? “Demi menjamin kepastian hukum bagi kalangan investor.” Lagi-lagi begitulah alasan ‘logis’ Pemerintah. Alasan yang sama juga pernah dilontarkan Pemerintah saat UU Migas, UU SDA maupun UU Penanaman Modal disahkan. Hanya demi kepastian hukum bagi kalangan pengusaha, Pemerintah tega mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam UU Minerba, misalnya, jelas-jelas sejumlah kontrak di bidang pertambangan yang selama ini amat merugikan rakyat—yang telah berjalan lebih dari 40 tahun sejak Orde Baru—tidak akan diotak-atik. Padahal sebagian besar dari kontrak-kontrak itu baru akan berakhir tahun 2021 dan 2041. Memang, dengan berpegang pada pasal 169b UU Minerba ini, Pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Namun, UU Minerba ini tetap mengakomodasi pasal 169a yang melindungi keberadaan kontrak-kontrak lama itu. Itulah yang menjadi alasan mengapa Pemerintah tidak akan ’semena-mena’ mencabut kontrak pertambangan yang sudah ada. “Tujuh fraksi di DPR kan juga sudah mengatakan kontrak yang sudah ada perlu dipertahankan siapapun menteri dan presidennya. Itu adalah kontrak negara dengan mereka. Jadi itu yang harus dihormati,” ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro (Kontan.co.id, 18/12/08).
Di sisi lain, hingga 2006 saja, Pemerintah telah menerbitkan sedikitnya 2.559 ijin pertambangan dan batubara. Itu belum termasuk ijin tambang galian C, ijin tambang migas dan Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah pada masa otonomi daerah. Di Kalimantan Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan. Di Kalimantan Timur ada 509 ijin. Di Sulawesi Tenggara ada 127 ijin tambang. Di kabupaten baru, Morowali, Sulawesi Tengah, bahkan sudah dikeluarkan 190 perijinan. Jumlah ini akan terus bertambah dan luas lahan untuk dikeruk akan makin meluas. Tidak ada batasan kapan dan berapa jumlah ijin yang patut dikeluarkan tiap daerah (Jatam.org, 28/11/08). Yang pasti, ribuan ijin tersebut, selama belum berakhir, tidak akan pernah bisa diotak-atik berdasarkan UU Minerba yang baru itu.
2. UU BHP.
Terkait UU BHP, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk melegalisasi ‘aksi lepas tanggung jawab’ Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, ”Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08).
Namun, yang perlu dipertanyakan: Pertama, bukankah UU BHP ini masih mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan? Padahal Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan cuma-cuma alias gratis kepada rakyatnya—karena memang itu hak mereka—dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kedua, jatah 20 persen kursi untuk siswa/mahasiswa miskin tentu tidak memadai dan tidak adil. Sebab, di negeri ini rakyat miskin yang tidak bisa sekolah, apalagi sampai ke perguruan tinggi, jumlahnya puluhan juta. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Lalu menurut data Balitbang Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti anak-anak putus sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.
Tolak Liberalisasi, Terapkan Syariah!
Dari sekilas paparan di atas, jelas bahwa liberalisasi atas negeri ini semakin hari semakin dalam dan semakin merambah semua bidang kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah UU. Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU Sisdiknas dan UU BHP. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah. Di bidang sosial ada UU KDRT dan UU Pornografi. Demikian seterusnya.
Sementara itu, puluhan UU lain masih berupa rancangan. Yang masuk dalam Prolegnas selama 2006-2009 saja ada sekitar 173 RUU yang siap diundangkan (Legalitas.org, di-download pada 23/12/08). Melihat ‘track-racord’ DPR yang jelas-jelas buruk dalam melegislasi/mengesahkan sejumlah UU, sebagaimana dicontohkan di atas, kita tentu semakin khawatir bahwa sejumlah RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas itu pun akan tetap mengadopsi nilai-nilai ‘liberal’. Ujung-ujungnya, rakyatlah yang rugi, dan yang untung hanya segelintir kalangan, termasuk asing. Pasalnya, tidak dipungkiri, ‘aroma uang’—atau paling tidak, ‘aroma kepentingan’ elit partai—hampir selalu mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh sejumlah lembaga asing seperti World Bank, ADB dan USAID.
Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batubara, dll dikelola oleh negara secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri ini. Liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk campur-tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan syariah Islam oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Padahal Allah SWT telah berfirman:
Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Kenyataan yang ada membenarkan firman Allah SWT di atas. Akibat hukum Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi ‘pintu masuk’ liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri, kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?
Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum Allahlah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula, keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya.
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).[]
Senin, 22 Desember 2008
Syariat Islam Melarang Wanita Menjadi Kepala Negara
Hizbut Tahrir Indonesia hingga sekarang tidak pernah menyatakan mendukung adanya pemimpin wanita untuk memimpin pemerintahan di negeri ini, seperti Megawati misalnya. HTI punya sikap jelas bahwa menurut syara, seorang wanita dilarang atau diharamkan untuk menjadi presiden atau kepala negara. Berikut wawancaranya dengan Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia beberapa waktu lalu.
Ada tudingan, terkait buku Megawati di mana ada tulisan ustad Ismail di dalamnya, seakan-akan HTI mendukung Megawati, apa betul itu?
Itu tidak betul. Sama sekali tudingan itu tidak benar. Ada orang yang menyangka seperti itu, karena dia hanya sekadar membaca tulisan di dalam buku “Mereka Bicara Mega” itu. Sebenarnya itu bukan tulisan saya, tapi itu hasil wawancara dengan saya yang ditulis sehingga seolah itu tulisan dari saya.
Memang benar saya pernah diwawancarai oleh tim penulis dari buku, “Mereka Bicara Mega” Itu, dan saya bicara apa adanya waktu wawancara. Tapi setelah saya baca, ternyata ada bagian penting yang dihapus. Bagian yang penting itu adalah pernyataan saya yang mengingatkan ibu Mega bahwa menurut ajaran Islam, perempuan itu tidak bisa menjadi presiden atau kepala negara. Itu bagian yang menurut saya sangat penting dan tidak bisa dihapus.
Saya memang diundang untuk launching acara itu dan sempat datang. Saya ditemui oleh editor buku itu. Dan ketika menerima buku itu darinya, saya langsung baca transkrip dari wawacara itu, kemudian langsung saya tahu ada bagian hasil wawancara yang dihapus. Kemudian saya tanyakan kepada editor buku itu. Ternyata mereka memang sengaja menghapus itu. Katanya supaya.., saya lupa pernyataannya. Ya pokok supaya sesuai dengan tujuan penulisan buku itu.
Apa sebenarnya latar belakang penulisan buku itu?
Saya tidak tahu persis. Tapi barangkali mereka ingin menjaring pendapat dari kalangan Islam, atau tokoh-tokoh ormas atau gerakan Islam mengenai Mega. Kalau kita baca, memang berisi banyak sekali tokoh-tokoh Islam yang bicara tentang Mega. Harapan dari editor atau penerbit, saya kira supaya citra Mega yang selama ini dianggap anti Islam dan tidak mengerti aspirasi Islam itu bisa dikurangi. Atau dihilangkan sama sekali malah.
Siapa saja tokoh-tokoh Islam yang ada di buku itu?
Di situ ada Ahmad Sumargono, ada Amien Rais, ada Said Agil Siroj, ada Din Syamsuddin, ada Malik Fajar, ada Hasyim Muzadi, dan tokoh Islam lainnya. Banyak sekali.
Pernyataan penting apa saja dari ustad yang dihilangkan oleh editor buku tersebut?
Ya tadi itu. Pernyataan penting yang dihilangkan pada paragraf, ketika saya bilang begini, “bahwa mbak Mega harus menyadari jati dirinya sebagai seorang Muslimah. Sebagai seorang Muslimah ia semestinya mengikuti aturan-aturan Islam. Dan bahwa menurut syariat Islam, perempuan itu tidak boleh menjadi presiden atau kepala negara.” Itu bagian yang paling penting, dari wawancara itu, tapi dihapus. Dari wawancara itu memang ada beberapa topik penting. Itu yang pertama.
Kemudian topik yang kedua, Mega tidak boleh menjadi icon dari partai politik yang dianggap menentang Islam. Itu masuk di situ. Kemudian poin yang ketiga, Baitul Muslimin tidak boleh menjadi politisasi Islam. Jadi jangan memanfaakan Islam sebagai alat untuk kepentingan politik. Tapi Harus menjadi Islamisasi Politik. Makanya itu menjadi judul dalam tulisan itu. Dari ketiga poin penting itu, yang dihapus itu, poin penting pertama.
Apa Ustadz telah secara resmi memprotesnya kepada editor atau penerbit buku itu?
Saya tidak memprotes secara resmi, tapi secara langsung malahan protes itu sudah dilakukan kepada editornya. Saya sudah sampaikan, wah ini tidak benar. Saya belum memikirkan apa akan ada langkah selanjutnya atau tidak. Ya kita lihat nanti perkembangannya. Kalau tidak memberi dampak yang merisaukan, kita biarkan saja. Tapi kalau ada, ya kita akan sampaikan protes secara resmi.
Sebetulnya sikap HTI sendiri terhadap kepemimpinan perempuan seperti apa?
Ya saya kira sudah sangat jelas. Kalau kita kembali kepada pernyataan resmi HTI menjelang pemilihan presiden, dinyatakan, “Tolak Kepemimpinan Sekuler”. Itu di sana jelas sekali, bahwa Hizbut Tahrir menyerukan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang Muslim, laki-laki, ballig, adil, merdeka, memiliki kemampuan dan mau tunduk kepada syariah. Secara eksplisit disebut itu dalam pernyataan resmi kita menjelang pemilihan presiden. Bahkan waktu itu kita ada aksi kan di bundaran HI menolak kepemimpinan Sekuler.
Kritik utama terhadap kepemimpinan wanita apa saja?
Ya karena syariah tidak membolehkannya. Terlepas dari perempuan itu mampu atau tidak mampu. Jelas sekali kan. Rasululloh dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pernah bersabda, Lan yuflihal qaumun wallau amrahum imroatan (“tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”). Di situ ada celaan yang menjadi qarinah bahwa syariah melarang atau mengharamkan perempuan menjadi Presiden atau Kepala Negara.
Jadi sesungguhnya sekali lagi kalau ada berita HTI seolah mendukung Mega, itu sama sekali tidak betul?
Ya, tidak betul. Tidak betul itu.
Ada tudingan, terkait buku Megawati di mana ada tulisan ustad Ismail di dalamnya, seakan-akan HTI mendukung Megawati, apa betul itu?
Itu tidak betul. Sama sekali tudingan itu tidak benar. Ada orang yang menyangka seperti itu, karena dia hanya sekadar membaca tulisan di dalam buku “Mereka Bicara Mega” itu. Sebenarnya itu bukan tulisan saya, tapi itu hasil wawancara dengan saya yang ditulis sehingga seolah itu tulisan dari saya.
Memang benar saya pernah diwawancarai oleh tim penulis dari buku, “Mereka Bicara Mega” Itu, dan saya bicara apa adanya waktu wawancara. Tapi setelah saya baca, ternyata ada bagian penting yang dihapus. Bagian yang penting itu adalah pernyataan saya yang mengingatkan ibu Mega bahwa menurut ajaran Islam, perempuan itu tidak bisa menjadi presiden atau kepala negara. Itu bagian yang menurut saya sangat penting dan tidak bisa dihapus.
Saya memang diundang untuk launching acara itu dan sempat datang. Saya ditemui oleh editor buku itu. Dan ketika menerima buku itu darinya, saya langsung baca transkrip dari wawacara itu, kemudian langsung saya tahu ada bagian hasil wawancara yang dihapus. Kemudian saya tanyakan kepada editor buku itu. Ternyata mereka memang sengaja menghapus itu. Katanya supaya.., saya lupa pernyataannya. Ya pokok supaya sesuai dengan tujuan penulisan buku itu.
Apa sebenarnya latar belakang penulisan buku itu?
Saya tidak tahu persis. Tapi barangkali mereka ingin menjaring pendapat dari kalangan Islam, atau tokoh-tokoh ormas atau gerakan Islam mengenai Mega. Kalau kita baca, memang berisi banyak sekali tokoh-tokoh Islam yang bicara tentang Mega. Harapan dari editor atau penerbit, saya kira supaya citra Mega yang selama ini dianggap anti Islam dan tidak mengerti aspirasi Islam itu bisa dikurangi. Atau dihilangkan sama sekali malah.
Siapa saja tokoh-tokoh Islam yang ada di buku itu?
Di situ ada Ahmad Sumargono, ada Amien Rais, ada Said Agil Siroj, ada Din Syamsuddin, ada Malik Fajar, ada Hasyim Muzadi, dan tokoh Islam lainnya. Banyak sekali.
Pernyataan penting apa saja dari ustad yang dihilangkan oleh editor buku tersebut?
Ya tadi itu. Pernyataan penting yang dihilangkan pada paragraf, ketika saya bilang begini, “bahwa mbak Mega harus menyadari jati dirinya sebagai seorang Muslimah. Sebagai seorang Muslimah ia semestinya mengikuti aturan-aturan Islam. Dan bahwa menurut syariat Islam, perempuan itu tidak boleh menjadi presiden atau kepala negara.” Itu bagian yang paling penting, dari wawancara itu, tapi dihapus. Dari wawancara itu memang ada beberapa topik penting. Itu yang pertama.
Kemudian topik yang kedua, Mega tidak boleh menjadi icon dari partai politik yang dianggap menentang Islam. Itu masuk di situ. Kemudian poin yang ketiga, Baitul Muslimin tidak boleh menjadi politisasi Islam. Jadi jangan memanfaakan Islam sebagai alat untuk kepentingan politik. Tapi Harus menjadi Islamisasi Politik. Makanya itu menjadi judul dalam tulisan itu. Dari ketiga poin penting itu, yang dihapus itu, poin penting pertama.
Apa Ustadz telah secara resmi memprotesnya kepada editor atau penerbit buku itu?
Saya tidak memprotes secara resmi, tapi secara langsung malahan protes itu sudah dilakukan kepada editornya. Saya sudah sampaikan, wah ini tidak benar. Saya belum memikirkan apa akan ada langkah selanjutnya atau tidak. Ya kita lihat nanti perkembangannya. Kalau tidak memberi dampak yang merisaukan, kita biarkan saja. Tapi kalau ada, ya kita akan sampaikan protes secara resmi.
Sebetulnya sikap HTI sendiri terhadap kepemimpinan perempuan seperti apa?
Ya saya kira sudah sangat jelas. Kalau kita kembali kepada pernyataan resmi HTI menjelang pemilihan presiden, dinyatakan, “Tolak Kepemimpinan Sekuler”. Itu di sana jelas sekali, bahwa Hizbut Tahrir menyerukan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang Muslim, laki-laki, ballig, adil, merdeka, memiliki kemampuan dan mau tunduk kepada syariah. Secara eksplisit disebut itu dalam pernyataan resmi kita menjelang pemilihan presiden. Bahkan waktu itu kita ada aksi kan di bundaran HI menolak kepemimpinan Sekuler.
Kritik utama terhadap kepemimpinan wanita apa saja?
Ya karena syariah tidak membolehkannya. Terlepas dari perempuan itu mampu atau tidak mampu. Jelas sekali kan. Rasululloh dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pernah bersabda, Lan yuflihal qaumun wallau amrahum imroatan (“tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”). Di situ ada celaan yang menjadi qarinah bahwa syariah melarang atau mengharamkan perempuan menjadi Presiden atau Kepala Negara.
Jadi sesungguhnya sekali lagi kalau ada berita HTI seolah mendukung Mega, itu sama sekali tidak betul?
Ya, tidak betul. Tidak betul itu.
Jumat, 19 Desember 2008
Parpol Islam Harus Punya Program Jelas
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) meminta partai politik (parpol) yang berbasis massa Islam, berasas Islam, atau memiliki keterkaitan sejarah dengan Islam, harus memiliki program kerja yang jelas. Para parpol itu diharapkan tak hanya memfokuskan diri merebut kekuasaan belaka.
”Partai politik (parpol) Islam harusnya punya program kerja yang jelas. Tidak sekadar mereka bertarung kekuasaan yang setelah didapat mereka kemudian tak tahu mau dibawa ke mana,” kata Juru Bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto, dalam Refleksi Akhir Tahun 2008 HTI: Selamatkan Indonesia dengan Syariah, di Jakarta, Kamis (18/12).
Dalam refleksi itu, HTI menyinggung banyak hal. Mulai dari krisis keuangan internasional yang bermula di AS, kejenuhan demokrasi di Indonesia, dukungan penerapan syariah yang kian kuat, berkecamuknya masalah pengangguran dan kemiskinan, hingga pada masih adanya Ahmadiyah dan ketakutan akan gerakan Islam.
”Ada dua faktor utama di belakang seluruh persoalan tahun ini, yaitu sistem dan manusia sebagai pemimpin,” kata Ismail.
Pemimpin yang tidak amanah dan sistem yang buruk, yaitu kapitalisme dan sekularisme ditambah lemahnya moralitas individu, menjadi pangkal munculnya masalah bangsa. Tahun depan, menurut HTI, Indonesia harus bisa memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah.
Dalam refleksi itu, berkembang gagasan bahwa pemimpin Islam yang bisa membawa perubahan adalah pemimpin yang takwa, kuat, dan mau mengurus rakyatnya.
Dari berbagai survei sosial yang dilakukan sejumlah pihak dalam dan luar negeri, HTI menyimpulkan, kerinduan menerapkan syariah sebagai dasar kehidupan bernegara makin kuat. Mereka mengutip survei UIN Syarif Hidayatullah (2001-2003), survei Gerakan Mahasiswa Nasionalis (2006), dan Roy Morgan Research (2008), yang menunjukkan kerinduan masyarakat akan syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
”Ada keputusasaan dengan situasi saat ini di tengah masyarakat. Dan, mereka menilai sistem Islam-syariah sebagai jalan keluarnya,” kata Ismail menambahkan.
Sistem syariah yang ditawarkan HTI membuat setiap aktivitas kehidupan memiliki nilai ketuhanan. Dengan demikian, tiap individu akan bekerja ikhlas dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi atau golongan maupun asing.
Kamis, 18 Desember 2008
Fatwakanlah Wajibnya Menerapkan Syariat Islam !
Golput haram? Itulah salah satu isu yang mengemuka baru-baru ini. Awalnya adalah Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menggagas agar MUI mengeluarkan fatwa ‘haram’ bagi siapa saja yang atidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009. HNW, yang mantan Presiden PKS dan kini Ketua MPR-RI, tentu punya alasan. Dalam sebuah acara dialog di sebuah televisi swasta tadi malam (TVOne, 15/12/08), HNW mengulang kembali alasan mengapa dirinya mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ia menyatakan, berdasarkan UU yang ada, memilih memang hak. Namun, dalam konteks mewujudkan kemaslahatan, menurutnya Pemilu harus terwujud, dan itu tidak mungkin terjadi jika masyarakat ramai-ramai golput. Demikian kira-kira alasan ‘rasional’ HNW.
Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain menganggap tindakan demikian ‘tidak cerdas’. Bahkan mereka menilai fatwa ‘golput haram’ menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan hak asasi pemilih. “Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat karya yang konkret.” Demikian komentar pengamat politik Arya Bima (13/12/2008).
Kerisauan Penikmat Demokrasi
Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini, boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah Pilkada pada tahun 2008 bahkan ”dimenangi” oleh golput. Golput di Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%–40%, bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu 2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004 yang ‘hanya’ mencapai 20 persen.
Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi ‘pemenang’, penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang legitimated.
Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah, ada yang kemudian ‘tergoda’ untuk menggunakan ‘bahasa agama’, yakni ‘fatwa’ untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009. Seolah-olah, ‘perang terhadap golput’ harus dilancarkan, di antaranya melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi ‘jurus ampuh’ yang bisa mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi. Jadinya, ‘fatwa’ sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar’i; seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.
Alasan di Balik Golput
Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini masyarakat tampaknya mulai ‘melek politik’. Masyarakat mulai sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran, kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya justru sering ‘mempecundangi’ rakyat. Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya. Para wakil rakyatlah yang juga ‘berjasa’ dalam mengesahkan sejumlah UU yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.
Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat. Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya, saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie—induk perusahaan PT Lapindo Brantas—kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.
Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu, dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja; tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.
Sebuah ‘Warning’
Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan ‘warning’ (peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih dijadikan sebagai ‘kuda tunggangan’ yang super komersial, siap ‘direntalkan’ kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang memiliki modal (baca: uang) melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam. Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.
Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!
Fatwakanlah Syariah Islam!
Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi. Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai ‘pintu masuk’ oleh para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU—yang notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR—melalui proses demokrasi?
Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi yang hendak difatwakan.
Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.
Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08).
Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.
Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.
Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini, yang dibebankan kepada setiap Muslim.
Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi. Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri kesengsaraannya.
Inilah penjelasan yang (sejelas-jelasnya) bagi manusia supaya mereka mendapatkan peringatan dengannya. (QS Ibrahim [14]: 52). []
Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain menganggap tindakan demikian ‘tidak cerdas’. Bahkan mereka menilai fatwa ‘golput haram’ menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan hak asasi pemilih. “Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat karya yang konkret.” Demikian komentar pengamat politik Arya Bima (13/12/2008).
Kerisauan Penikmat Demokrasi
Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini, boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah Pilkada pada tahun 2008 bahkan ”dimenangi” oleh golput. Golput di Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%–40%, bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu 2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004 yang ‘hanya’ mencapai 20 persen.
Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi ‘pemenang’, penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang legitimated.
Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah, ada yang kemudian ‘tergoda’ untuk menggunakan ‘bahasa agama’, yakni ‘fatwa’ untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009. Seolah-olah, ‘perang terhadap golput’ harus dilancarkan, di antaranya melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi ‘jurus ampuh’ yang bisa mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi. Jadinya, ‘fatwa’ sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar’i; seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.
Alasan di Balik Golput
Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini masyarakat tampaknya mulai ‘melek politik’. Masyarakat mulai sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran, kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya justru sering ‘mempecundangi’ rakyat. Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya. Para wakil rakyatlah yang juga ‘berjasa’ dalam mengesahkan sejumlah UU yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.
Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat. Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya, saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie—induk perusahaan PT Lapindo Brantas—kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.
Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu, dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja; tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.
Sebuah ‘Warning’
Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan ‘warning’ (peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih dijadikan sebagai ‘kuda tunggangan’ yang super komersial, siap ‘direntalkan’ kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang memiliki modal (baca: uang) melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam. Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.
Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!
Fatwakanlah Syariah Islam!
Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi. Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai ‘pintu masuk’ oleh para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU—yang notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR—melalui proses demokrasi?
Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi yang hendak difatwakan.
Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.
Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08).
Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.
Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.
Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini, yang dibebankan kepada setiap Muslim.
Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi. Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri kesengsaraannya.
Inilah penjelasan yang (sejelas-jelasnya) bagi manusia supaya mereka mendapatkan peringatan dengannya. (QS Ibrahim [14]: 52). []
Selasa, 16 Desember 2008
Amalan Untuk Meraih Surganya Allah SWT.
Tidak ada yang lebih utama dari para pengemban dakwah yang senantiasa berlomba melaksanakan kebaikan, bersegera meraih ampunan, surga, dan keridhaan Allah Yang Mahabesar.
Kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah agar kita berlomba-lomba dan bersegera melaksanakannya banyak sekali, diantaranya:
• Seluruh fardlu a’in, seperti shalat wajib, zakat wajib, shaum Ramadhan, haji, memahami perkara yang diwajibkan bagi manusia dalam hidupnya, jihad untuk mempertahankan diri, jihad yang diperintahkan oleh khalifah, melakukan baiat tha’at, memberi nafkah yang wajib dan mengusahakannya, menjalin silaturahmi kepada kerabat, bergabung dalam jamaah kaum Muslim, dan lain-lain.
• Seluruh fardlu kifayah, seperti mewujudkan jamaah (organisasi) yang menyerukan Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar. Juga seperti jihad ketika diperintahkan, baiat in’iqad, thalabul ilmi, berjaga-jaga di benteng pertahanan, dan lain-lain.
Kewajiban-kewajiban ini baik fardlu a’in ataupun fardlu kifayah adalah ibadah yang paling utama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Seorang hamba tidak akan meraih ridla Allah kecuali dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Dalil atas hal ini adalah hadits dari Abi Umamah riwayat At-Thabrani di dalam Al-Kabir, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: Siapa saja yang menghinakan kekasih-Ku berarti ia telah terang-terangan memusuhi-Ku. Wahai anak Adam, engkau tidak akan memperoleh keridhaan di sisi-Ku kecuali dengan melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadamu…”
• Segala ibadah yang disunahkan. Jika seorang hamba telah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah kepadanya, lalu diikuti dengan melaksanakan ibadah yang disunahkan, dan bertaqarub kepada Allah dengan perkara yang disunahkan, maka Allah akan mendekat kepada-Nya dan akan mencintai-Nya. Dalam hadits dari Abi Umamah riwayat At-Thabrani di dalam Al-Kabir, yang telah disebutkan sebelumnya menyatakan: “….Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya sebagai alat berpikirnya, Aku akan menjadi lisannya sebagai alat bicarnya, dan Aku akan menjadi matanya sebagai alat penglihatannya. Jika ia berdoa kepada-Ku maka pasti Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku, maka pasti Aku akan menolonganya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah memberikan nasihat.”
Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadits dari Anas bin Malik dari Nabi saw., bahwa sesunguhnya Allah berfirman:
«إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِذَا أَتَانِي مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً»
“Apabila seorang hamba mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”
Amalan Sunnah yang Menghantarkan ke Surga:
· Wudlu untuk Setiap Shalat (meski masih punya wudhu) serta Menggosok Gigi Setiap Kali Berwudhu.
Dalilnya adalah hadits riwayat Ahmad dengan isnad yang hasan dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
«لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ سِوَاكٌ»
“Jika tidak khawatir memberatkan umatku, maka pasti aku akan memerintahkan mereka berwudhun untuk setiap shalat dan menggosok gigi setiap kali berwudhu.” Dalam satu riwayat mutafaq ‘alaih disebutkan:
«لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ»
“Jika aku tidak khawatir memberatkan umatku, maka pasti aku akan memerintahkan mereka menggosok gigi setiap kali berwudhu.”
· Shalat Dua Raka’at setelah Bersuci
Hal ini didasarkan pada hadits dari Abi hurairah –Mutafaq ‘alaiah– sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Bilal:
«يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ»
“Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku amal yang paling engkau harapkan di dalam Islam, karena aku telah mendengar ketukan kedua terompahmu di surga. Bilal berkata: Aku tidak mengamalkan suatu amal yang paling aku harapkan selain senantiasa shalat setiap kali selesai bersuci baik siang atau malam, selama shalat diwajibkan kepadaku.”
· Adzan, Berdiri di Barisan Pertama dan Bergegas untuk Shalat
Dalilnya adalah hadits mutafaq ‘alaih yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا»
“Andaikan manusia mengetahui keutamaan adzan dan barisan pertama (dalam shalat), kemudian mereka tidak bisa melakukan keduanya kecuali harus mengikuti undian terlebih dahulu, maka pasti mereka akan mengikuti undian. Andaikan mereka mengetahui keutamaan tahjir, niscaya mereka akan berlomba-lomba menggapainya. Dan andaikan mereka mengetahui keutamaan ‘utmah dan shalat shubuh, niscaya mereka akan menunaikannya meski harus berjalan dengan merangkak.”
Juga berdasarkan hadits Al Bara riwayat Ahmad dan Nasai di dalam isnadnya. Telah berkata Al Mundziri tentang hadits ini adalah hasan baik sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
«إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ وَالْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَّ صَوْتِهِ وَيُصَدِّقُهُ مَنْ سَمِعَهُ مِنْ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ صَلَّى مَعَهُ»
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat memberikan rahmat kepada (orang yang ada pada) barisan yang ada di depan. Muadzin akan dimintakan ampunan sepajang suaranya oleh segala yang keras dan basah yang mendengar suaranya. Juga ia akan mendapatkan pahala orang yang sholat bersamanya.
Kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah agar kita berlomba-lomba dan bersegera melaksanakannya banyak sekali, diantaranya:
• Seluruh fardlu a’in, seperti shalat wajib, zakat wajib, shaum Ramadhan, haji, memahami perkara yang diwajibkan bagi manusia dalam hidupnya, jihad untuk mempertahankan diri, jihad yang diperintahkan oleh khalifah, melakukan baiat tha’at, memberi nafkah yang wajib dan mengusahakannya, menjalin silaturahmi kepada kerabat, bergabung dalam jamaah kaum Muslim, dan lain-lain.
• Seluruh fardlu kifayah, seperti mewujudkan jamaah (organisasi) yang menyerukan Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar. Juga seperti jihad ketika diperintahkan, baiat in’iqad, thalabul ilmi, berjaga-jaga di benteng pertahanan, dan lain-lain.
Kewajiban-kewajiban ini baik fardlu a’in ataupun fardlu kifayah adalah ibadah yang paling utama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Seorang hamba tidak akan meraih ridla Allah kecuali dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Dalil atas hal ini adalah hadits dari Abi Umamah riwayat At-Thabrani di dalam Al-Kabir, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: Siapa saja yang menghinakan kekasih-Ku berarti ia telah terang-terangan memusuhi-Ku. Wahai anak Adam, engkau tidak akan memperoleh keridhaan di sisi-Ku kecuali dengan melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadamu…”
• Segala ibadah yang disunahkan. Jika seorang hamba telah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah kepadanya, lalu diikuti dengan melaksanakan ibadah yang disunahkan, dan bertaqarub kepada Allah dengan perkara yang disunahkan, maka Allah akan mendekat kepada-Nya dan akan mencintai-Nya. Dalam hadits dari Abi Umamah riwayat At-Thabrani di dalam Al-Kabir, yang telah disebutkan sebelumnya menyatakan: “….Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya sebagai alat berpikirnya, Aku akan menjadi lisannya sebagai alat bicarnya, dan Aku akan menjadi matanya sebagai alat penglihatannya. Jika ia berdoa kepada-Ku maka pasti Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku, maka pasti Aku akan menolonganya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah memberikan nasihat.”
Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadits dari Anas bin Malik dari Nabi saw., bahwa sesunguhnya Allah berfirman:
«إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِذَا أَتَانِي مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً»
“Apabila seorang hamba mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”
Amalan Sunnah yang Menghantarkan ke Surga:
· Wudlu untuk Setiap Shalat (meski masih punya wudhu) serta Menggosok Gigi Setiap Kali Berwudhu.
Dalilnya adalah hadits riwayat Ahmad dengan isnad yang hasan dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
«لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ سِوَاكٌ»
“Jika tidak khawatir memberatkan umatku, maka pasti aku akan memerintahkan mereka berwudhun untuk setiap shalat dan menggosok gigi setiap kali berwudhu.” Dalam satu riwayat mutafaq ‘alaih disebutkan:
«لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ»
“Jika aku tidak khawatir memberatkan umatku, maka pasti aku akan memerintahkan mereka menggosok gigi setiap kali berwudhu.”
· Shalat Dua Raka’at setelah Bersuci
Hal ini didasarkan pada hadits dari Abi hurairah –Mutafaq ‘alaiah– sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Bilal:
«يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ»
“Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku amal yang paling engkau harapkan di dalam Islam, karena aku telah mendengar ketukan kedua terompahmu di surga. Bilal berkata: Aku tidak mengamalkan suatu amal yang paling aku harapkan selain senantiasa shalat setiap kali selesai bersuci baik siang atau malam, selama shalat diwajibkan kepadaku.”
· Adzan, Berdiri di Barisan Pertama dan Bergegas untuk Shalat
Dalilnya adalah hadits mutafaq ‘alaih yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا»
“Andaikan manusia mengetahui keutamaan adzan dan barisan pertama (dalam shalat), kemudian mereka tidak bisa melakukan keduanya kecuali harus mengikuti undian terlebih dahulu, maka pasti mereka akan mengikuti undian. Andaikan mereka mengetahui keutamaan tahjir, niscaya mereka akan berlomba-lomba menggapainya. Dan andaikan mereka mengetahui keutamaan ‘utmah dan shalat shubuh, niscaya mereka akan menunaikannya meski harus berjalan dengan merangkak.”
Juga berdasarkan hadits Al Bara riwayat Ahmad dan Nasai di dalam isnadnya. Telah berkata Al Mundziri tentang hadits ini adalah hasan baik sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
«إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ وَالْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَّ صَوْتِهِ وَيُصَدِّقُهُ مَنْ سَمِعَهُ مِنْ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ صَلَّى مَعَهُ»
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat memberikan rahmat kepada (orang yang ada pada) barisan yang ada di depan. Muadzin akan dimintakan ampunan sepajang suaranya oleh segala yang keras dan basah yang mendengar suaranya. Juga ia akan mendapatkan pahala orang yang sholat bersamanya.
Senin, 15 Desember 2008
Kembali Penodaan Agama, Lia Eden Minta Islam Dihapuskan
Penistaan agama kembali terjadi, sementara hukum pun tak mampu menjerat para penista agama tersebut untuk kapok. Lia Eden ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melakukan penistaan terhadap agama.
“Selain Lia Eden, Wahyu Andito Putro Wibisono yang membuat dan menyebarkan 1.200 amplop juga jadi tersangka,” ujar Kabid Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira saat jumpa pers di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa (15/12/2008).
Ketua Gerakan Umat Islam Indonesia Habib Abdurrahman Asegaf melaporkan penghinaan agama oleh pemimpin Kerajan Tuhan Lia Eden tersebut.
Habib Abdurrahman Aseegaf menyatakan, pelaporan tersebut terkait fatwa Lia Eden yang meminta agama Islam dan agama-agama lain di Indonesia dihapuskan.
“Ini sudah merupakan suatu kegilaan, akan membubarkan agama Islam. Dia sudah menyatakan fatwa penghapusan Islam,” ujar Abdurrahman Assegaf di Kantor SPK Polda Metro Jaya, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (15/12/2008).
Dalam wahyu Tuhan yang ditulis oleh Lia Eden pada 28 Oktober 2008, tertulis “….Aku sudah menyatakan fatwa penghapusan agama Islam sekaligus fatwa penghapusan semua agama” kata Lia Eden dalam selebaran kertas yang ditujukan untuk Presiden SBY dan Polri.
Dalam selebaran itu juga ditulis, Lia meminta perlindungan kepada pihak kepolisian agar aman dari segala ancaman.
“Saya datang ke sini supaya dasar hukum diperkuat. Dia sudah melanggar pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama. Ini karena tidak ada efek jera sehingga hukum tidak berjalan. Saya menuntut agar hukumannya lebih berat,” imbuhnya.
Berulangnya kembali penodaan agama mencerminkan kegagalan negara sekular dalam menjaga akidah umat. Masihkah ada harapan para pelaku penistaan agama itu akan jera dengan hukum yang ada? Berbeda halnya jika mengacu pada hukum Islam, maka hukumannya sangat tegas dan tuntas.
Minggu, 14 Desember 2008
Hidayat Usul Haramkan Golput, FPI Justru Serukan Golput
Mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid mengusulkan dikeluarkannya fatwa haram golput. Sebaliknya, Front Pembela Islam (FPI) justru menyerukan golput.
“Jika nanti tidak ada dari caleg, partai, maupun capres/cawapres yang memiliki komitmen untuk pembubaran Ahmadiyah dan sepilis (sekulerisme, pluralisme, liberalisme), kalau masih dibiarkan kelompok-kelompok seperti ini, maka mau tidak mau FPI sangat mendukung fatwa Habib Rizieq Syihab,
kita tidak akan menggunakan hak pilih kita di Pemilu 2009,” ujar Sekjen DPP FPI Ahmad Shobri Lubis saat dihubungi detikcom, Sabtu (13/13/2008) malam.
Pernyataan Shobri tersebut juga merupakan rekomendasi Munas II FPI yang digelar di Bogor, 9-11 Desember lalu. Dalam situs resmi FPI, rekomendasi tersebut tertulis di nomor 3, berbunyi:
“Sikap Politik FPI terhadap Pemilu 2009, yaitu tidak menggunakan hak pilih jika tidak ada parpol/caleg/capres/cawapres yang berkomitmen membubarkan Ahmadiyah.”
Selain menyerukan golput, Munas II FPI juga menghasilkan rekomendasi pengkajian pembentukan parpol. FPI menilai saat ini tidak ada satupun parpol Islam yang memperjuangkan aspirasi mayoritas umat Islam dan penegakan syariat Islam.
FPI masih menunggu hingga 2009 untuk memutuskan perlu tidaknya pendirian parpol tersebut. Mereka akan melihat lebih dulu seperti apa sikap partai-partai Islam terhadap isu-isu sensitif bagi umat Islam semisal tuntutan pembubaran Ahmadiyah.
Rabu, 10 Desember 2008
Mitos : Israel Tak Tertandingi ?
Sejak berdiri pada 1948, kekuatan militer Israel diliputi oleh aura mitos bahwa mereka tak tertandingi. Uniknya, dongeng ini tidak berasal dari Israel sendiri, namun diisyaratkan oleh para pemimpin Muslim yang curang.
Performa Israel dalam peperangan melawan bangsa-bangsa Muslim di kawasan tersebut pada 1948, 1956, 1967, dan 1973, sejak lama dianggap sebagai bukti superioritas militer Israel. Terlepas dari superioritas mereka dan pendudukan mereka atas tanah-tanah umat Islam, diperkirakan bahwa konflik militer langsung dengan Israel bukanlah tindakan negara-negara Arab yang sesungguhnya, namun demi mencari alasan untuk melakukan perjanjian dengan Israel. Konsekuensi dari berbagai aksi militer itu berujung pada pengakuan kedaulatan Israel melalui berbagai rancangan semacam proses perdamaian.
Dalam menilai kemampuan militer Israel, kita harus mengingat satu hal: mengapa mitos tentang kekuatan militer Israel ini ada?
Perang 1948, Rekayasa Israel
Perang 1948 dipicu oleh diproklamirkannya negara Israel merdeka. Secara rasional, sangat sulit menerima kenyataan bagaimana 40 juta orang bangsa Arab tidak mampu mengalahkan 600.000 orang Yahudi. Pengamatan mendalam kepada upaya pertahanan wilayah Palestina menunjukkan bahwa aksi tersebut pada kenyataannya diarahkan langsung untuk berdirinya Israel.
Para pembela urusan Palestina, seperti Raja Abdullah dari Trans-Yordania, Raja Farouk dari Mesir, dan Mufti Palestina, adalah para pemimpin lemah yang sebelumnya sering ditipu oleh Inggris. Pencitraan Raja Abdullah atas dirinya sendiri sebagai pembela bangsa Palestina adalah suatu kesalahan. Semua orang tahu bahwa dirinya dan Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) pernah sama-sama belajar bersama sebagai mahasiswa di Istanbul. Diketahui pula bahwa dalam beberapa pertemuan bawah tanah, Abdullah pernah menawarkan untuk menerima kedaulatan Israel sebagai bayaran atas kembalinya dirinya ke Yordania untuk memerintah di kawasan Palestina yang berpenduduk Arab.
Saat dirinya terusir (dari Hejaz.), Raja Abdullah memiliki sebuah Legiun Arab –satu unit tentara terlatih berkekuatan 4.500 orang– dengan seorang Inggris, Jenderal John Glubb, sebagai komandan utamanya. Dalam memoarnya, Glubb menyebut bahwa dirinya berada dan diperintah langsung oleh Inggris, agar tidak memasuki kawasan-kawasan yang dikontrol oleh Yahudi[1]. Mesir sengaja memperlemah serangan ke Israel ketika Nakrashi Pasha, Perdana Menteri Mesir, sengaja tidak menggunakan unit-unit militer, namun hanya mengirim tentara sukarelawan yang baru dibentuk pada bulan Januari tahun tersebut. Yordania juga menunda keberangkatan tentara Irak di wilayahnya, sehingga menahan serangan atas Israel. Inilah sebabnya mengapa seorang Imam buta yang sengaja didatangkan untuk mendoakan tentara Yordania sebelum pertempuran sengaja mempermalukan Abdullah dengan berkata: “Wahai tentara, andai engkau tentara kami,[2]” (ditujukan kepada Legiun Arab yang dikendalikan Inggris).
Walaupun kekuatan gabungan negeri-negeri Muslim mencapai jumlah 40.000, hanya 10.000 dari mereka yang benar-benar tentara terlatih. Zionis hanya berkekuatan 30.000 orang tentara, 10.000 tentara pertahanan dan 20.000 lainnya penjaga pemukiman. Selain itu, ada sekitar 3.000 geng kriminal Irgun dan Stern yang dilatih dan dipersenjatai secara khusus. Mereka dibekali dengan persenjataan terbaru dan disokong oleh dana agen-agen Zionis di AS dan Inggris. Terlepas dari kesiapan Yahudi dalam perang itu, sikap pengecut dan pengkhianatan para pemimpin Muslim adalah faktor penentu jejak Yahudi di Palestina.
Krisis Suez 1956
Konflik ini bukanlah perang yang sesungguhnya demi kemerdekaan Palestina, melainkan hanya sebuah pergulatan kecil antara AS dan Inggris untuk mengontrol terusan Suez yang memiliki arti penting dalam jalur perdagangan.
AS memandang Mesir sebagai sekutu yang dibutuhkan dalam menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Melalui CIA, AS merekayasa sebuah kudeta untuk menjatuhkan Raja Farouk pada 1952. Kemudian AS menempatkan sekelompok perwira yang dipimpin Gamal Abdul Nasser ke tampuk kekuasaan. Pada 1951, CIA menjalankan sebuah proyek bernama ‘The Search for a Moslem Billy Graham’. Mike Copeland, kepala operasi CIA, mengemukakan sejumlah informasi tertentu dalam memoarnya pada tahun 1989 yang berjudul ‘The Game Player’, tentang kudeta yang didalangi AS untuk menyingkirkan boneka Inggris, Raja Farouk. Copeland yang menjalankan proyek tersebut menjelaskan bahwa ‘CIA membutuhkan seorang pemimpin kharismatik yang akan mampu mengalihkan sikap Anti Amerika yang semakin meningkat di wilayah tersebut.’ Ia menjelaskan, baik CIA dan Nasser memiliki kesepahaman soal Israel. Bagi Nasser, pembicaraan tentang Israel sama sekali tidak relevan dengan dirinya. Ia menempatkan prioritasnya pada pendudukan Inggris di kawasan Terusan Suez. Musuh Nasser adalah Inggris.
Pada tahun 1956, Nasser menjalankan pesan AS untuk melakukan nasionalisasi Terusan Suez. Ini dijawab oleh Inggris dengan melibatkan Perancis dan Israel ke dalam pertempuran. Peristiwa ini dijelaskan oleh Corelli Barnet di dalam bukunya ‘The Collapse of British Power’: ‘Perancis marah kepada Nasser karena Mesir membantu pemberontak di Aljazair, dan merasa memiliki keterikatan sejarah dengan Terusan Suez. Orang Perancis-lah yang membuat terusan itu. Sebelumnya, Israel sudah jengkel kepada Nasser karena serangan pasukan fedayeen Palestina dan blokade Mesir atas Selat Tiran. Maka Sir Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat skenario tripartit dengan Perancis dan Israel.[3]’ Lebih lanjut dia menjelaskan, ‘bahwa Israel akan menyerang Mesir melalui semenanjung Sinai.’ ‘Inggris dan Perancis akan menyerukan kepada Israel dan Mesir untuk menghentikan peperangan, atau mereka akan melakukan intervensi untuk melindungi Terusan Suez.’[4]
AS dan Uni Soviet melakukan tekanan diplomatik untuk memaksa Inggris menarik diri. Rusia secara langsung mengancam Paris dan London dengan serangan nuklir. Besarnya tekanan internasional waktu itu memaksa Inggris dan Perancis untuk hengkang dan kehilangan jejaknya di Mesir. Pemerintahan AS, di bawah Eisenhower, bertindak tegas dengan mengancam akan memberikan sanksi ekonomi kepada Israel jika mereka tidak menarik diri dari kawasan-kawasan yang dirampasnya dari Mesir, sesuatu yang akan membawa malapetaka bagi Israel bila terjadi. Setelah krisis berlalu, AS muncul sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.
Perang Enam Hari 1967
Perang ini juga merupakan episode lain dari konflik Anglo-Amerika dalam memperebutkan pengaruh di kawasan tersebut. Setelah 11 tahun kehilangan dominasinya, Inggris masih menyisakan sedikit pengaruh melalui para agennya di Yordania, Suriah, dan Israel. Sebagai salah satu upaya memperlemah Nasser, Inggris menjebak Israel agar menarik Mesir ke dalam perang, di mana Israel dapat memperluas wilayahnya dan menggunakannya sebagai alat perundingan dalam perjajian perdamaian setelahnya; cara mewujudkan keamanan yang mati-matian diusahakan Israel untuk tercapai. Pada 5 Juni 1967 Israel melakukan serangan awal dan menghancurkan 60% kekuatan Angkatan Udara Mesir serta 66% mesin tempur Suriah dan Yordania.
Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari tangan Yordania. Sebelum meletusnya pertempuran, Raja Hussein menempatkan tentaranya di kawasan-kawasan selain kawasan tempat berlangsungnya pertempuran utama. Hanya dalam waktu 48 jam, Israel telah sepenuhnya menduduki seluruh kota di Tepi Barat. Dengan cara yang sama pula, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada hari ke-6. Pasukan Suriah yang berada di Dataran Tinggi Golan mendengar sendiri berita jatuhnya kawasan tersebut ke tangan Israel dari radio negara mereka, padahal jelas-jelas mereka menduduki kawasan itu. Israel juga memberikan pukulan telak kepada Nasser dengan mencaplok Sharm El Sheikh dan mengamankan jalur perairan Selat Tiran dari blokade Mesir. Tujuan memperlemah rezim Nasser pun tercapai, sehingga menambah pengaruh Inggris ke kawasan tersebut. Israel mampu memperluas wilayahnya dan menggunakannya sebagai alat tawar-menawar dengan kawasan lain dalam negosiasi perdamaian, yang hingga kini juga masih dipakainya sebagai alat tawar-menawar –bukan dengan status 1948. PBB menggagas rencana pembagian wilayah, dengan memberikan 67% wilayah kepada Israel dan 42 % bekas wilayah Palestina sendiri kepada Palestina. Pada Perang 1967, pendudukan Israel menjadikan wilayahnya seluas 78% dari wilayah Palestina dulu.
Perang 1973
Pada awal Oktober 1973, perang yang dilancarkan Mesir dan Suriah kepada Israel menunjukkan bahwa tujuan yang hendak mereka capai bersifat terbatas dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kemerdekaan Palestina. Tujuan perang itu bahkan juga tidak mencakup pembebasan Dataran Tinggi Golan yang wajib dikembalikan berdasarkan perjanjian damai antara Israel dan Suriah. Tujuan peran itu yang sesungguhnya adalah demi memperkuat posisi Anwar Sadat dan Hafez al-Assad, yang merupakan pemimpin yang relatif baru di masing-masing negara dan berkuasa karena kudeta. Sadat, secara khusus, menduduki posisi yang rentan karena ia menggantikan posisi Nasser yang kharismatik.
Muhammad Heikal, editor terkemuka harian al-Ahram antara 1957-1974, yang menyaksikan langsung perang tersebut, menjelaskan motif sesungguhnya dari perang yang digagas Anwar Sadat dalam bukunya ‘The Road to Ramadhan’ di mana ia mengamati keinginan Sadat dalam berperang. Heikal mengutip kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang jenderal Sadat, Muhammed Fauzi, yang memberikan analogi seorang samurai yang menarik dua pedang –yang satu panjang dan yang satu lagi pendek– sebelum terjun ke dalam pertempuran. Fauzi mengatakan bahwa pedang tersebut adalah pedang yang pendek, menunjukkan bahwa perang tersebut hanya pertempuran terbatas yang dilakukan atas motif tertentu.
Anwar Sadat sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengalami perang berkepanjangan dengan Israel. Inilah sebabnya mengapa ia mengajukan tawaran damai dengan Israel ketika tentaranya berada dalam posisi unggul di medan perang. Dalam 24 jam pertama peperangan, Mesir memukul pertahanan Israel di Bar Lev, sebelah Timur Terusan Suez dengan hanya kehilangan 68 orang tentara. Sementara 2 divisi Suriah dan 500 tanknya menyapu ke arah Dataran Tinggi Golan dan menduduki kembali kawasan-kawasan yang direbut pada 1967. Dalam dua hari peperangan, Israel telah kehilangan 49 pesawat dan 500 tank. Di tengah kecamuk perang, Sadat mengirimkan pesan kepada Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, dengan mengatakan bahwa tujuan perang tersebut adalah mencapai perdamaian di Timur Tengah sepenuhnya, dan bukan penyelesaian masalah yang parsial.’ Pesan tersebut bermakna bahwa bila Israel menarik diridari semua kawasan yang didudukinya, Mesir akan siap berpartisipasi dalam pembicaraan damai di bawah PBB atau penengah netral.
Jadi, terlepas dari keuntungan strategis yang dimilikinya, hasrat awal Sadat sejak awal hanyalah negosiasi. Penolakan Sadat untuk mengumumkan posisinya di medan perang dan keputusannya menunda serangan kedua di Sinai memungkinkan Israel melakukan mobilisasi, dengan bantuan AS, dan menduduki kembali kawasan-kawasan yang lepas. Peperangan ini sendiri berakhir secara formal pada 25 Oktober 1974.
Semua peperangan dengan Israel adalah gambaran terbaik yang menunjukkan bahwa para pemimpin Muslim memang tidak pernah serius memerangi Israel demi kemerdekaan Palestina. Semua contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan kenyataan di balik mitos, di mana umat ini diperdaya agar mempercayainya.
Pengkhianatan nyata telah dilakukan para pemimpin bermuka dua yang telah berkolaborasi dan membantu menciptakan mitos superioritas Israel, dengan menyatakannya, memelihara dan menjaganya tetap ada. Peperangan-peperangan yang dilakukan negara-negara Arab membuktikan bahwa negara-negara tersebut tidak pernah, baik sendiri ataupun bersama-sama, memerangi Israel untuk menghancurkannya. Masing-masing perang dilancarkan demi tujuan jangka pendek tertentu, tidak ada satu pun yang dilancarkan untuk membebaskan Palestina dan menghancurkan Israel. Tujuan untuk memberikan ancaman kepada Israel tidak pernah menjadi sasaran utama, terlepas dari besarnya kekuatan gabungan angkatan bersenjata seluruh negara Arab.(sumber : buku Mitos Mitos Palsu Ciptaan Barat; Adnan Khan ,Hizbut Tahrir Inggris)
Performa Israel dalam peperangan melawan bangsa-bangsa Muslim di kawasan tersebut pada 1948, 1956, 1967, dan 1973, sejak lama dianggap sebagai bukti superioritas militer Israel. Terlepas dari superioritas mereka dan pendudukan mereka atas tanah-tanah umat Islam, diperkirakan bahwa konflik militer langsung dengan Israel bukanlah tindakan negara-negara Arab yang sesungguhnya, namun demi mencari alasan untuk melakukan perjanjian dengan Israel. Konsekuensi dari berbagai aksi militer itu berujung pada pengakuan kedaulatan Israel melalui berbagai rancangan semacam proses perdamaian.
Dalam menilai kemampuan militer Israel, kita harus mengingat satu hal: mengapa mitos tentang kekuatan militer Israel ini ada?
Perang 1948, Rekayasa Israel
Perang 1948 dipicu oleh diproklamirkannya negara Israel merdeka. Secara rasional, sangat sulit menerima kenyataan bagaimana 40 juta orang bangsa Arab tidak mampu mengalahkan 600.000 orang Yahudi. Pengamatan mendalam kepada upaya pertahanan wilayah Palestina menunjukkan bahwa aksi tersebut pada kenyataannya diarahkan langsung untuk berdirinya Israel.
Para pembela urusan Palestina, seperti Raja Abdullah dari Trans-Yordania, Raja Farouk dari Mesir, dan Mufti Palestina, adalah para pemimpin lemah yang sebelumnya sering ditipu oleh Inggris. Pencitraan Raja Abdullah atas dirinya sendiri sebagai pembela bangsa Palestina adalah suatu kesalahan. Semua orang tahu bahwa dirinya dan Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) pernah sama-sama belajar bersama sebagai mahasiswa di Istanbul. Diketahui pula bahwa dalam beberapa pertemuan bawah tanah, Abdullah pernah menawarkan untuk menerima kedaulatan Israel sebagai bayaran atas kembalinya dirinya ke Yordania untuk memerintah di kawasan Palestina yang berpenduduk Arab.
Saat dirinya terusir (dari Hejaz.), Raja Abdullah memiliki sebuah Legiun Arab –satu unit tentara terlatih berkekuatan 4.500 orang– dengan seorang Inggris, Jenderal John Glubb, sebagai komandan utamanya. Dalam memoarnya, Glubb menyebut bahwa dirinya berada dan diperintah langsung oleh Inggris, agar tidak memasuki kawasan-kawasan yang dikontrol oleh Yahudi[1]. Mesir sengaja memperlemah serangan ke Israel ketika Nakrashi Pasha, Perdana Menteri Mesir, sengaja tidak menggunakan unit-unit militer, namun hanya mengirim tentara sukarelawan yang baru dibentuk pada bulan Januari tahun tersebut. Yordania juga menunda keberangkatan tentara Irak di wilayahnya, sehingga menahan serangan atas Israel. Inilah sebabnya mengapa seorang Imam buta yang sengaja didatangkan untuk mendoakan tentara Yordania sebelum pertempuran sengaja mempermalukan Abdullah dengan berkata: “Wahai tentara, andai engkau tentara kami,[2]” (ditujukan kepada Legiun Arab yang dikendalikan Inggris).
Walaupun kekuatan gabungan negeri-negeri Muslim mencapai jumlah 40.000, hanya 10.000 dari mereka yang benar-benar tentara terlatih. Zionis hanya berkekuatan 30.000 orang tentara, 10.000 tentara pertahanan dan 20.000 lainnya penjaga pemukiman. Selain itu, ada sekitar 3.000 geng kriminal Irgun dan Stern yang dilatih dan dipersenjatai secara khusus. Mereka dibekali dengan persenjataan terbaru dan disokong oleh dana agen-agen Zionis di AS dan Inggris. Terlepas dari kesiapan Yahudi dalam perang itu, sikap pengecut dan pengkhianatan para pemimpin Muslim adalah faktor penentu jejak Yahudi di Palestina.
Krisis Suez 1956
Konflik ini bukanlah perang yang sesungguhnya demi kemerdekaan Palestina, melainkan hanya sebuah pergulatan kecil antara AS dan Inggris untuk mengontrol terusan Suez yang memiliki arti penting dalam jalur perdagangan.
AS memandang Mesir sebagai sekutu yang dibutuhkan dalam menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Melalui CIA, AS merekayasa sebuah kudeta untuk menjatuhkan Raja Farouk pada 1952. Kemudian AS menempatkan sekelompok perwira yang dipimpin Gamal Abdul Nasser ke tampuk kekuasaan. Pada 1951, CIA menjalankan sebuah proyek bernama ‘The Search for a Moslem Billy Graham’. Mike Copeland, kepala operasi CIA, mengemukakan sejumlah informasi tertentu dalam memoarnya pada tahun 1989 yang berjudul ‘The Game Player’, tentang kudeta yang didalangi AS untuk menyingkirkan boneka Inggris, Raja Farouk. Copeland yang menjalankan proyek tersebut menjelaskan bahwa ‘CIA membutuhkan seorang pemimpin kharismatik yang akan mampu mengalihkan sikap Anti Amerika yang semakin meningkat di wilayah tersebut.’ Ia menjelaskan, baik CIA dan Nasser memiliki kesepahaman soal Israel. Bagi Nasser, pembicaraan tentang Israel sama sekali tidak relevan dengan dirinya. Ia menempatkan prioritasnya pada pendudukan Inggris di kawasan Terusan Suez. Musuh Nasser adalah Inggris.
Pada tahun 1956, Nasser menjalankan pesan AS untuk melakukan nasionalisasi Terusan Suez. Ini dijawab oleh Inggris dengan melibatkan Perancis dan Israel ke dalam pertempuran. Peristiwa ini dijelaskan oleh Corelli Barnet di dalam bukunya ‘The Collapse of British Power’: ‘Perancis marah kepada Nasser karena Mesir membantu pemberontak di Aljazair, dan merasa memiliki keterikatan sejarah dengan Terusan Suez. Orang Perancis-lah yang membuat terusan itu. Sebelumnya, Israel sudah jengkel kepada Nasser karena serangan pasukan fedayeen Palestina dan blokade Mesir atas Selat Tiran. Maka Sir Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat skenario tripartit dengan Perancis dan Israel.[3]’ Lebih lanjut dia menjelaskan, ‘bahwa Israel akan menyerang Mesir melalui semenanjung Sinai.’ ‘Inggris dan Perancis akan menyerukan kepada Israel dan Mesir untuk menghentikan peperangan, atau mereka akan melakukan intervensi untuk melindungi Terusan Suez.’[4]
AS dan Uni Soviet melakukan tekanan diplomatik untuk memaksa Inggris menarik diri. Rusia secara langsung mengancam Paris dan London dengan serangan nuklir. Besarnya tekanan internasional waktu itu memaksa Inggris dan Perancis untuk hengkang dan kehilangan jejaknya di Mesir. Pemerintahan AS, di bawah Eisenhower, bertindak tegas dengan mengancam akan memberikan sanksi ekonomi kepada Israel jika mereka tidak menarik diri dari kawasan-kawasan yang dirampasnya dari Mesir, sesuatu yang akan membawa malapetaka bagi Israel bila terjadi. Setelah krisis berlalu, AS muncul sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.
Perang Enam Hari 1967
Perang ini juga merupakan episode lain dari konflik Anglo-Amerika dalam memperebutkan pengaruh di kawasan tersebut. Setelah 11 tahun kehilangan dominasinya, Inggris masih menyisakan sedikit pengaruh melalui para agennya di Yordania, Suriah, dan Israel. Sebagai salah satu upaya memperlemah Nasser, Inggris menjebak Israel agar menarik Mesir ke dalam perang, di mana Israel dapat memperluas wilayahnya dan menggunakannya sebagai alat perundingan dalam perjajian perdamaian setelahnya; cara mewujudkan keamanan yang mati-matian diusahakan Israel untuk tercapai. Pada 5 Juni 1967 Israel melakukan serangan awal dan menghancurkan 60% kekuatan Angkatan Udara Mesir serta 66% mesin tempur Suriah dan Yordania.
Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari tangan Yordania. Sebelum meletusnya pertempuran, Raja Hussein menempatkan tentaranya di kawasan-kawasan selain kawasan tempat berlangsungnya pertempuran utama. Hanya dalam waktu 48 jam, Israel telah sepenuhnya menduduki seluruh kota di Tepi Barat. Dengan cara yang sama pula, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada hari ke-6. Pasukan Suriah yang berada di Dataran Tinggi Golan mendengar sendiri berita jatuhnya kawasan tersebut ke tangan Israel dari radio negara mereka, padahal jelas-jelas mereka menduduki kawasan itu. Israel juga memberikan pukulan telak kepada Nasser dengan mencaplok Sharm El Sheikh dan mengamankan jalur perairan Selat Tiran dari blokade Mesir. Tujuan memperlemah rezim Nasser pun tercapai, sehingga menambah pengaruh Inggris ke kawasan tersebut. Israel mampu memperluas wilayahnya dan menggunakannya sebagai alat tawar-menawar dengan kawasan lain dalam negosiasi perdamaian, yang hingga kini juga masih dipakainya sebagai alat tawar-menawar –bukan dengan status 1948. PBB menggagas rencana pembagian wilayah, dengan memberikan 67% wilayah kepada Israel dan 42 % bekas wilayah Palestina sendiri kepada Palestina. Pada Perang 1967, pendudukan Israel menjadikan wilayahnya seluas 78% dari wilayah Palestina dulu.
Perang 1973
Pada awal Oktober 1973, perang yang dilancarkan Mesir dan Suriah kepada Israel menunjukkan bahwa tujuan yang hendak mereka capai bersifat terbatas dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kemerdekaan Palestina. Tujuan perang itu bahkan juga tidak mencakup pembebasan Dataran Tinggi Golan yang wajib dikembalikan berdasarkan perjanjian damai antara Israel dan Suriah. Tujuan peran itu yang sesungguhnya adalah demi memperkuat posisi Anwar Sadat dan Hafez al-Assad, yang merupakan pemimpin yang relatif baru di masing-masing negara dan berkuasa karena kudeta. Sadat, secara khusus, menduduki posisi yang rentan karena ia menggantikan posisi Nasser yang kharismatik.
Muhammad Heikal, editor terkemuka harian al-Ahram antara 1957-1974, yang menyaksikan langsung perang tersebut, menjelaskan motif sesungguhnya dari perang yang digagas Anwar Sadat dalam bukunya ‘The Road to Ramadhan’ di mana ia mengamati keinginan Sadat dalam berperang. Heikal mengutip kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang jenderal Sadat, Muhammed Fauzi, yang memberikan analogi seorang samurai yang menarik dua pedang –yang satu panjang dan yang satu lagi pendek– sebelum terjun ke dalam pertempuran. Fauzi mengatakan bahwa pedang tersebut adalah pedang yang pendek, menunjukkan bahwa perang tersebut hanya pertempuran terbatas yang dilakukan atas motif tertentu.
Anwar Sadat sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengalami perang berkepanjangan dengan Israel. Inilah sebabnya mengapa ia mengajukan tawaran damai dengan Israel ketika tentaranya berada dalam posisi unggul di medan perang. Dalam 24 jam pertama peperangan, Mesir memukul pertahanan Israel di Bar Lev, sebelah Timur Terusan Suez dengan hanya kehilangan 68 orang tentara. Sementara 2 divisi Suriah dan 500 tanknya menyapu ke arah Dataran Tinggi Golan dan menduduki kembali kawasan-kawasan yang direbut pada 1967. Dalam dua hari peperangan, Israel telah kehilangan 49 pesawat dan 500 tank. Di tengah kecamuk perang, Sadat mengirimkan pesan kepada Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, dengan mengatakan bahwa tujuan perang tersebut adalah mencapai perdamaian di Timur Tengah sepenuhnya, dan bukan penyelesaian masalah yang parsial.’ Pesan tersebut bermakna bahwa bila Israel menarik diridari semua kawasan yang didudukinya, Mesir akan siap berpartisipasi dalam pembicaraan damai di bawah PBB atau penengah netral.
Jadi, terlepas dari keuntungan strategis yang dimilikinya, hasrat awal Sadat sejak awal hanyalah negosiasi. Penolakan Sadat untuk mengumumkan posisinya di medan perang dan keputusannya menunda serangan kedua di Sinai memungkinkan Israel melakukan mobilisasi, dengan bantuan AS, dan menduduki kembali kawasan-kawasan yang lepas. Peperangan ini sendiri berakhir secara formal pada 25 Oktober 1974.
Semua peperangan dengan Israel adalah gambaran terbaik yang menunjukkan bahwa para pemimpin Muslim memang tidak pernah serius memerangi Israel demi kemerdekaan Palestina. Semua contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan kenyataan di balik mitos, di mana umat ini diperdaya agar mempercayainya.
Pengkhianatan nyata telah dilakukan para pemimpin bermuka dua yang telah berkolaborasi dan membantu menciptakan mitos superioritas Israel, dengan menyatakannya, memelihara dan menjaganya tetap ada. Peperangan-peperangan yang dilakukan negara-negara Arab membuktikan bahwa negara-negara tersebut tidak pernah, baik sendiri ataupun bersama-sama, memerangi Israel untuk menghancurkannya. Masing-masing perang dilancarkan demi tujuan jangka pendek tertentu, tidak ada satu pun yang dilancarkan untuk membebaskan Palestina dan menghancurkan Israel. Tujuan untuk memberikan ancaman kepada Israel tidak pernah menjadi sasaran utama, terlepas dari besarnya kekuatan gabungan angkatan bersenjata seluruh negara Arab.(sumber : buku Mitos Mitos Palsu Ciptaan Barat; Adnan Khan ,Hizbut Tahrir Inggris)
Selasa, 09 Desember 2008
Solusi Islam Mengatasi PHK dan Pengangguran
Seperti telah diperkirakan oleh banyak kalangan, krisis keuangan dunia yang menimpa Amerika akan diikuti gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran di berbagai belahan dunia. Setelah AS, Jepang terhempas ke jurang krisis ekonomi, disusul Jerman dan negara-negara pengguna mata uang Euro. Krisis ini berpeluang melahirkan krisis multidimensi, di antaranya gejolak sosial di tengah-tengah masyarakat.
Gelombang PHK semakin meluas; mulai dari sektor perbankan dan keuangan hingga sektor perindustrian, manufaktur, insfrastruktur, jasa, dsb. Di Amerika gelombang pengangguran telah mencapai titik tertinggi sejak 5 tahun terakhir, yaitu 6.7%. Menurut Ian Shepherdson di High Frequency Economics, hanya dalam waktu 6 bulan AS telah kehilangan 1.55 juta lapangan kerja, hampir sama besarnya dengan resesi pada 2001 lalu. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat masih belum adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi yang telah dicanangkan pemerintah Amerika.
Juru bicara raksasa perbankan Citigroup, Richard Tesvich, mengatakan kepada AFP (18/11), pihaknya akan mem-PHK 52,000 karyawannya di seluruh dunia, hal ini dilakukan demi menekan kerugian besar akibat krisis subprime mortgage. Lembaga keuangan lainnya juga ikut ambil bagian untuk melakukan PHK. Juni lalu, Bank of America Corp memperkirakan akan mengurangi pegawai sebanyak 7,500 orang dalam dua tahun ke depan. Barclays Plc, yang bermarkas di Inggris, akan mem-PHK 3,000. Commerzbank AG, bank terbesar Jerman, pada 1 September lalu mengumumkan akan memberhentikan 9,000 tenaga kerja. Sejumlah perusahaan lain seperti Credit Suisse Group, Fidelity National Financial Inc, First American Group, Goldman Sach Group Inc dan HSBC Holding juga telah atau berencana mem-PHK sebagian karyawannya.
Selain itu, Industri otomotif di AS juga akan merumahkan karyawan karena terancam bangkrut. Para eksekutif General Motors, Ford, dan Chrysler dijadwalkan memberikan keterangan di depan Kongres untuk menyelamatkan nasib mereka dan industri otomotif umumnya. Jika PHK massal di sektor otomotif terjadi maka angka pengangguran di AS akan semakin melonjak. Industri manufaktur kehilangan 61,000 pekerja. Bidang konstruksi kehilangan 8,000 pekerja dan kemungkinan akan bertambah. Retail kehilangan 20,000 pekerja. Akuntan, konsultan dan jasa hukum kehilangan 53,000 pekerja (CNN, 5/12/2008).
Di sisi lain, banyak warga AS yang menggantungkan hidupnya dari pembiayaan kartu kredit. Seiring dengan PHK besar-besaran itu, akhirnya banyak warga AS yang kesulitan membayar tagihan kartu kreditnya. Kini, utang kartu kredit mencapai US$ 1 triliun, sementara kredit macet di sektor perumahan mencapai US$ 14 triliun.
PHK masal tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga di seluruh dunia. Jumlah pengangguran di Inggris diramalkan menembus 2,9 juta orang pada pertengahan 2010. Saat ini rasio pengangguran di Inggris mencapai 5,8 persen. Di Rusia, beberapa perusahaan yang beroperasi di wilayah Rusia sepakat untuk melakukan PHK dan merumahkan sedikitnya 200.000 pegawai tahu depan. Di Cina, pabrik pembuat mainan di Cina yang mengekspor produknya ke Amerika Serikat, seperti Mattel dan Disney, harus menutup pabriknya akibat krisis keuangan global. Akibatnya, 6000 orang karyawan di PHK. Di Hongkong pengangguran melonjak menjadi 3,5 persen. Adapun rasio pengangguran di negara yang meggunakan Euro mencapai 7.5%, Jerman 7.5%, Jepang 4% dan Tiongkok 4% dan negara-negara lainnya di barat ataupun di timur tengah ramai melakukan PHK masal.
International Labour Organization (ILO) memperkirakan, jumlah pengangguran di seluruh dunia akan mencapai 210 juta pada akhir 2009. Jumlah itu meningkat sekitar 20 juta orang jika dibandingkan dengan pengangguran pada 2007, yang mencapai 190 juta orang. Peningkatan itu disebabkan maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda banyak industri besar di seluruh dunia.
Di dalam negeri, ekspor barang-barang dari Indonesia menurun karena permintaan dari negara-negara maju yang juga menurun. Bahkan ada yang menghentikan kontrak pembelian produk-produk industri garmen-tekstil, kayu dan produk perkebunan dari Indonesia. Akibatnya, pabrik harus menurunkan kapasitas produksinya, ada yang sampai 40%. Pukulan lain adalah kemungkinan suku bunga pinjaman dalam negeri juga bergerak naik. Akibatnya, cicilan pokok dan bunga kredit perusahaan akan semakin membebani dan perusahaan pun tak mampu untuk bertahan. Buntutnya adalah rasionalisasi dalam bentuk PHK ratusan ribu karyawan industri padat karya di berbagai wilayah pertekstilan Pulau Jawa serta perkayuan Riau dan Kalimantan.
Pemerintah Indonesia, melalui Menkeu/Pejabat Menko Perekonomian Sri Mulyani, menyatakan bahwa dampak krisis ekonomi dunia terhadap perekonomian Indonesia akan berlanjut hingga satu tahun mendatang. Saat ini krisis ekonomi global sudah mulai berdampak pada sektor riil. Data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan saat ini 1.396 pekerja sudah di-PHK dan rencananya sekitar 20.930 pekerja juga akan di-PHK. Selain itu, sekitar 1.025 pekerja sudah dirumahkan dan 18.891 pekerja lagi akan mengalami nasib yang sama. Konsekuensinya, tentu jumlah penganggur di Indonesia akan terus bertambah.
Menurut Sofyan Wanadi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), puncak PHK massal diperkirakan akan terjadi pada pertengahan 2009. Setidaknya, 500 ribu hingga 1 juta orang akan kehilangan pekerjaannya hingga pertengahan tahun depan. Menurutnya, saat ini beberapa perusahaan sudah mulai merumahkan beberapa pekerjanya. Namun, PHK massal akan mulai terasa mulai Januari atau Februari 2009. Sektor industri yang paling terkena dampaknya adalah industri yang padat karya seperti industri tekstil, sepatu, UKM, dan industri makanan-minuman. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) bersama industri sepatu, misalnya, sudah mengalkulasi pengurangan tenaga kerja sekitar 10% dari total sekitar 2,5 juta pekerja saat ini. Industri lain, seperti industri makanan dan minuman, industri elektronik, juga industri otomotif kurang lebih sudah punya hitungan serupa.
Akar Persoalan PHK
Gelombang PHK yang terjadi saat ini tidak lain merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis karena lemahnya struktur ekonomi pasar yang dianut. Akibatnya, ia tidak mampu menahan gejolak negatif di berbagai sektor hanya gara-gara krisis kredit perumahan. Akhirnya, perekonomian dunia melemah, perusahaan mengalami kerugian triliunan dolar dan kas negara pun habis terkuras. Dalam sistem ekonomi pasar Kapitalisme, lembaga perbankan dan keuangan merupakan pintu utama arus permodalan ke berbagai sektor perekonomian. Namun, dana tersebut lenyap begitu saja di sektor non-riil. Lembaga perbankan dan keuangan pun akhirnya lumpuh. Kelumpuhan tersebut mengakibatkan terhentinya proses produksi dan sekaligus mematikan daya beli perusahaan-perusahaan, khususnya di negara maju, termasuk terhadap barang-barang impor. Pertumbuhan ekonomi pun terus merosot sampai ke titik nol. Perusahaan-perusahaan di negara-negara pengekspor, termasuk Indonesia, yang men-supply berbagai kebutuhan ke negara-negara maju—seperti tekstil dan produk tekstil—akhirnya menurunkan kapasitas produksinya sekaligus mengurangi/merumahkan tenaga kerjanya.
Yang lebih mengerikan lagi adalah efek samping dari gelombang PHK massal ini seperti yang dikatakan oleh Harvey Brenner. Menurutnya, setiap 10 persen kenaikan penganggur, kematian naik 1,2 persen, serangan jantung 1,7 persen, bunuh diri 1,7 persen, dan harapan hidup berkurang 7 tahun.
Solusi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara (Khilafah), PHK sangat kecil sekali kemungkinannya bakal terjadi. Sebab, prinsip ekonomi Islam yang dianut adalah penyerapan pasar domestik yang sangat didukung oleh negara dalam rangka memenuhi kebutuhan individu masyarakatnya. Ekspor bukan lagi tujuan utama hasil produksi. Sebab, sistem mata uangnya juga sudah sangat stabil, yaitu dengan menggunakan standar emas (dinar dan dirham). Dengan demikian, negara tidak membutuhkan cadangan devisa mata uang negara lain karena semua transaksi akan menggunakan dinar/dirham atau dikaitkan dengan emas.
Negara juga akan menerapkan sistem transaksi hanya di sektor riil dan menghentikan segala bentuk transaksi ribawi dan non riil lainnya. Dengan begitu, perputaran barang dari sektor riil akan sangat cepat dan tidak akan mengalami penumpukkan stok. Penawaran dan permintaan bukanlah indikator untuk menaikkan/menurunkan harga ataupun inflasi, karena jumlah uang yang beredar stabil sehingga harga akan stabil. Negara pun tidak perlu repot-repot mengatur jumlah uang beredar dengan menaikkan/menurunkan suku bunga acuan seperti yang dilakukan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Negara hanya akan memantau dan memastikan kelancaran proses distribusi barang dan jasa agar segala kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, negaralah yang mengelola sumber kekayaan yang menjadi milik rakyat. Hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat. Dengan demikian, jaminan sosial bagi masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan, akan terpenuhi. Dalam kondisi seperti ini, daya beli masyarakat akan sangat kuat dan stabil. Harga tinggi bukan merupakan persoalan dalam sistem ekonomi Islam. Dengan terpenuhinya kebutuhan individu, pola hidup masyarakat pun menjadi lebih terarah. Mereka tidak lagi terperangkap dalam pola hidup individualis, dengan bersaing dan harus menang, dengan menghalakan segala cara.
Pemerintah saat ini sepertinya telah kehabisan akal sehingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menanggulangi masalah PHK massal tersebut, kecuali hanya wait and see saja. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk menghadapi krisis global ini.
Sudah waktunya bagi Pemerintah dan masyarakat untuk memilih jalan keluar terbaik dari permasalahan ini. Caranya adalah dengan mengambil jalan yang ditawarkan Islam, yakni dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sekaligus menerapkan sistem pemerintahan Islam. Tanpa itu, kita akan terus menderita akibat berbagai persoalan hidup yang tidak pernah berakhir.
Apakah sisem Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Gelombang PHK semakin meluas; mulai dari sektor perbankan dan keuangan hingga sektor perindustrian, manufaktur, insfrastruktur, jasa, dsb. Di Amerika gelombang pengangguran telah mencapai titik tertinggi sejak 5 tahun terakhir, yaitu 6.7%. Menurut Ian Shepherdson di High Frequency Economics, hanya dalam waktu 6 bulan AS telah kehilangan 1.55 juta lapangan kerja, hampir sama besarnya dengan resesi pada 2001 lalu. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat masih belum adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi yang telah dicanangkan pemerintah Amerika.
Juru bicara raksasa perbankan Citigroup, Richard Tesvich, mengatakan kepada AFP (18/11), pihaknya akan mem-PHK 52,000 karyawannya di seluruh dunia, hal ini dilakukan demi menekan kerugian besar akibat krisis subprime mortgage. Lembaga keuangan lainnya juga ikut ambil bagian untuk melakukan PHK. Juni lalu, Bank of America Corp memperkirakan akan mengurangi pegawai sebanyak 7,500 orang dalam dua tahun ke depan. Barclays Plc, yang bermarkas di Inggris, akan mem-PHK 3,000. Commerzbank AG, bank terbesar Jerman, pada 1 September lalu mengumumkan akan memberhentikan 9,000 tenaga kerja. Sejumlah perusahaan lain seperti Credit Suisse Group, Fidelity National Financial Inc, First American Group, Goldman Sach Group Inc dan HSBC Holding juga telah atau berencana mem-PHK sebagian karyawannya.
Selain itu, Industri otomotif di AS juga akan merumahkan karyawan karena terancam bangkrut. Para eksekutif General Motors, Ford, dan Chrysler dijadwalkan memberikan keterangan di depan Kongres untuk menyelamatkan nasib mereka dan industri otomotif umumnya. Jika PHK massal di sektor otomotif terjadi maka angka pengangguran di AS akan semakin melonjak. Industri manufaktur kehilangan 61,000 pekerja. Bidang konstruksi kehilangan 8,000 pekerja dan kemungkinan akan bertambah. Retail kehilangan 20,000 pekerja. Akuntan, konsultan dan jasa hukum kehilangan 53,000 pekerja (CNN, 5/12/2008).
Di sisi lain, banyak warga AS yang menggantungkan hidupnya dari pembiayaan kartu kredit. Seiring dengan PHK besar-besaran itu, akhirnya banyak warga AS yang kesulitan membayar tagihan kartu kreditnya. Kini, utang kartu kredit mencapai US$ 1 triliun, sementara kredit macet di sektor perumahan mencapai US$ 14 triliun.
PHK masal tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga di seluruh dunia. Jumlah pengangguran di Inggris diramalkan menembus 2,9 juta orang pada pertengahan 2010. Saat ini rasio pengangguran di Inggris mencapai 5,8 persen. Di Rusia, beberapa perusahaan yang beroperasi di wilayah Rusia sepakat untuk melakukan PHK dan merumahkan sedikitnya 200.000 pegawai tahu depan. Di Cina, pabrik pembuat mainan di Cina yang mengekspor produknya ke Amerika Serikat, seperti Mattel dan Disney, harus menutup pabriknya akibat krisis keuangan global. Akibatnya, 6000 orang karyawan di PHK. Di Hongkong pengangguran melonjak menjadi 3,5 persen. Adapun rasio pengangguran di negara yang meggunakan Euro mencapai 7.5%, Jerman 7.5%, Jepang 4% dan Tiongkok 4% dan negara-negara lainnya di barat ataupun di timur tengah ramai melakukan PHK masal.
International Labour Organization (ILO) memperkirakan, jumlah pengangguran di seluruh dunia akan mencapai 210 juta pada akhir 2009. Jumlah itu meningkat sekitar 20 juta orang jika dibandingkan dengan pengangguran pada 2007, yang mencapai 190 juta orang. Peningkatan itu disebabkan maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda banyak industri besar di seluruh dunia.
Di dalam negeri, ekspor barang-barang dari Indonesia menurun karena permintaan dari negara-negara maju yang juga menurun. Bahkan ada yang menghentikan kontrak pembelian produk-produk industri garmen-tekstil, kayu dan produk perkebunan dari Indonesia. Akibatnya, pabrik harus menurunkan kapasitas produksinya, ada yang sampai 40%. Pukulan lain adalah kemungkinan suku bunga pinjaman dalam negeri juga bergerak naik. Akibatnya, cicilan pokok dan bunga kredit perusahaan akan semakin membebani dan perusahaan pun tak mampu untuk bertahan. Buntutnya adalah rasionalisasi dalam bentuk PHK ratusan ribu karyawan industri padat karya di berbagai wilayah pertekstilan Pulau Jawa serta perkayuan Riau dan Kalimantan.
Pemerintah Indonesia, melalui Menkeu/Pejabat Menko Perekonomian Sri Mulyani, menyatakan bahwa dampak krisis ekonomi dunia terhadap perekonomian Indonesia akan berlanjut hingga satu tahun mendatang. Saat ini krisis ekonomi global sudah mulai berdampak pada sektor riil. Data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan saat ini 1.396 pekerja sudah di-PHK dan rencananya sekitar 20.930 pekerja juga akan di-PHK. Selain itu, sekitar 1.025 pekerja sudah dirumahkan dan 18.891 pekerja lagi akan mengalami nasib yang sama. Konsekuensinya, tentu jumlah penganggur di Indonesia akan terus bertambah.
Menurut Sofyan Wanadi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), puncak PHK massal diperkirakan akan terjadi pada pertengahan 2009. Setidaknya, 500 ribu hingga 1 juta orang akan kehilangan pekerjaannya hingga pertengahan tahun depan. Menurutnya, saat ini beberapa perusahaan sudah mulai merumahkan beberapa pekerjanya. Namun, PHK massal akan mulai terasa mulai Januari atau Februari 2009. Sektor industri yang paling terkena dampaknya adalah industri yang padat karya seperti industri tekstil, sepatu, UKM, dan industri makanan-minuman. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) bersama industri sepatu, misalnya, sudah mengalkulasi pengurangan tenaga kerja sekitar 10% dari total sekitar 2,5 juta pekerja saat ini. Industri lain, seperti industri makanan dan minuman, industri elektronik, juga industri otomotif kurang lebih sudah punya hitungan serupa.
Akar Persoalan PHK
Gelombang PHK yang terjadi saat ini tidak lain merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis karena lemahnya struktur ekonomi pasar yang dianut. Akibatnya, ia tidak mampu menahan gejolak negatif di berbagai sektor hanya gara-gara krisis kredit perumahan. Akhirnya, perekonomian dunia melemah, perusahaan mengalami kerugian triliunan dolar dan kas negara pun habis terkuras. Dalam sistem ekonomi pasar Kapitalisme, lembaga perbankan dan keuangan merupakan pintu utama arus permodalan ke berbagai sektor perekonomian. Namun, dana tersebut lenyap begitu saja di sektor non-riil. Lembaga perbankan dan keuangan pun akhirnya lumpuh. Kelumpuhan tersebut mengakibatkan terhentinya proses produksi dan sekaligus mematikan daya beli perusahaan-perusahaan, khususnya di negara maju, termasuk terhadap barang-barang impor. Pertumbuhan ekonomi pun terus merosot sampai ke titik nol. Perusahaan-perusahaan di negara-negara pengekspor, termasuk Indonesia, yang men-supply berbagai kebutuhan ke negara-negara maju—seperti tekstil dan produk tekstil—akhirnya menurunkan kapasitas produksinya sekaligus mengurangi/merumahkan tenaga kerjanya.
Yang lebih mengerikan lagi adalah efek samping dari gelombang PHK massal ini seperti yang dikatakan oleh Harvey Brenner. Menurutnya, setiap 10 persen kenaikan penganggur, kematian naik 1,2 persen, serangan jantung 1,7 persen, bunuh diri 1,7 persen, dan harapan hidup berkurang 7 tahun.
Solusi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara (Khilafah), PHK sangat kecil sekali kemungkinannya bakal terjadi. Sebab, prinsip ekonomi Islam yang dianut adalah penyerapan pasar domestik yang sangat didukung oleh negara dalam rangka memenuhi kebutuhan individu masyarakatnya. Ekspor bukan lagi tujuan utama hasil produksi. Sebab, sistem mata uangnya juga sudah sangat stabil, yaitu dengan menggunakan standar emas (dinar dan dirham). Dengan demikian, negara tidak membutuhkan cadangan devisa mata uang negara lain karena semua transaksi akan menggunakan dinar/dirham atau dikaitkan dengan emas.
Negara juga akan menerapkan sistem transaksi hanya di sektor riil dan menghentikan segala bentuk transaksi ribawi dan non riil lainnya. Dengan begitu, perputaran barang dari sektor riil akan sangat cepat dan tidak akan mengalami penumpukkan stok. Penawaran dan permintaan bukanlah indikator untuk menaikkan/menurunkan harga ataupun inflasi, karena jumlah uang yang beredar stabil sehingga harga akan stabil. Negara pun tidak perlu repot-repot mengatur jumlah uang beredar dengan menaikkan/menurunkan suku bunga acuan seperti yang dilakukan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Negara hanya akan memantau dan memastikan kelancaran proses distribusi barang dan jasa agar segala kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, negaralah yang mengelola sumber kekayaan yang menjadi milik rakyat. Hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat. Dengan demikian, jaminan sosial bagi masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan, akan terpenuhi. Dalam kondisi seperti ini, daya beli masyarakat akan sangat kuat dan stabil. Harga tinggi bukan merupakan persoalan dalam sistem ekonomi Islam. Dengan terpenuhinya kebutuhan individu, pola hidup masyarakat pun menjadi lebih terarah. Mereka tidak lagi terperangkap dalam pola hidup individualis, dengan bersaing dan harus menang, dengan menghalakan segala cara.
Pemerintah saat ini sepertinya telah kehabisan akal sehingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menanggulangi masalah PHK massal tersebut, kecuali hanya wait and see saja. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk menghadapi krisis global ini.
Sudah waktunya bagi Pemerintah dan masyarakat untuk memilih jalan keluar terbaik dari permasalahan ini. Caranya adalah dengan mengambil jalan yang ditawarkan Islam, yakni dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sekaligus menerapkan sistem pemerintahan Islam. Tanpa itu, kita akan terus menderita akibat berbagai persoalan hidup yang tidak pernah berakhir.
Apakah sisem Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Senin, 08 Desember 2008
Kelompok Hindu Rayakan Penghancuran Masjid Barbi
Patroli kapal dilakukan polisi India disepanjang sungai Saryu . Peningkatan keamanan ini dilakukan menjelang peringatan yang ke 16 tahun penghancuran masjid Babri . Kelompok Hindu Sadush (Orang Suci) telah berkumpul di Ayodhya Uttar Pradesh untuk merayakan 16 tahun penghancuran masjid Babri. Tidak hanya itu mereka juga membakar bendera Pakistan sebagai buntut dari serangan Mumbai.(Gulf Times; 06/12/2008)
”Kami berkumpul disini untuk menegaskan kembali permintaan lama kami membangun kembali kuil suci tempat dewa suci Ram berbaring, termasuk memprotes keterlibatan Pakistan di negara kami,” ujar Sharad Sharma, jurubicara Vishwa Hindu Parishad (VHP)
Penghancuran masjid Babri dilakukan kelompok hindu pada desember 1992. Ratusan korban meninggal dunia, sebagian besar adalah umat Islam. Kelompok Vishwa Hindu Parishad (VHP) sendiri dikenal sebagai kelompok Hindu militant yang gencar mengkampanyekan sikap anti Islam.
Kelompok ini diduga terlibat dalam pembantaian umat Islam di Gujarat yang menewaskan lebih dari 2000 orang. Pembunuhan massal umat Islam ini diduga kuat melibatkan pemerintah India yang saat itu dikuasai oleh Partai Bratya Janata (BJP) yang dikenal sebagai Hindu militan. Perlu diketahui koordinator VHP untuk kawasan AS telah ditunjuk oleh Obama sebagai penasehat politiknya.
India sendiri banyak belajar dari Israel bagaimana menghadapi umat Islam. Benjamin Shan mantan menteri pemerintahan Israel di era Shamir mengatakan : ” India dan Israel adalah sama-sama menghadapi marabahaya serupa yaitu akar Islam di Palestina dan Khashmir”.
”Kami berkumpul disini untuk menegaskan kembali permintaan lama kami membangun kembali kuil suci tempat dewa suci Ram berbaring, termasuk memprotes keterlibatan Pakistan di negara kami,” ujar Sharad Sharma, jurubicara Vishwa Hindu Parishad (VHP)
Penghancuran masjid Babri dilakukan kelompok hindu pada desember 1992. Ratusan korban meninggal dunia, sebagian besar adalah umat Islam. Kelompok Vishwa Hindu Parishad (VHP) sendiri dikenal sebagai kelompok Hindu militant yang gencar mengkampanyekan sikap anti Islam.
Kelompok ini diduga terlibat dalam pembantaian umat Islam di Gujarat yang menewaskan lebih dari 2000 orang. Pembunuhan massal umat Islam ini diduga kuat melibatkan pemerintah India yang saat itu dikuasai oleh Partai Bratya Janata (BJP) yang dikenal sebagai Hindu militan. Perlu diketahui koordinator VHP untuk kawasan AS telah ditunjuk oleh Obama sebagai penasehat politiknya.
India sendiri banyak belajar dari Israel bagaimana menghadapi umat Islam. Benjamin Shan mantan menteri pemerintahan Israel di era Shamir mengatakan : ” India dan Israel adalah sama-sama menghadapi marabahaya serupa yaitu akar Islam di Palestina dan Khashmir”.
Jumat, 05 Desember 2008
Haji dan Kepemimpinan Islam
Pada bulan Dzulhijjah ini, umat Islam sedang melangsungkan perhelatan besar: ibadah haji. Subhânallâh! Dari seluruh penjuru dunia kaum Muslim berbondong-bondong datang ke Tanah Suci dengan berbagai latar belakang; ras, suku, bangsa dan bahasa. Namun, perbedaan itu mereka tanggalkan semuanya. Yang ada adalah kesamaan iman dan Islam yang mengikat mereka untuk berada dalam satu tempat bersama-sama, demi mengerjakan semua perintah Allah SWT dengan penuh ketundukan dan ketulusan.
Pengorbanan waktu, tenaga, harta dan pikiran mereka persembahkan hanya kepada Allah SWT. Mereka senantiasa berharap, perniagaan mereka dengan Sang Rabbul ‘Izzati diterima dan dibeli dengan ridha dan surga-Nya.
Di tengah rasa bahagia menyaksikan perhelatan tersebut, ada rasa galau. Apakah ibadah haji hari ini sama kondisinya dengan ibadah pada masa Rasulullah saw.? Apakah umat Islam sekarang bisa menangkap esensi ibadah haji ini? Bagaimana pula pengorbanan umat Islam saat ini—sebagai salah satu pesan dari ibadah kurban—untuk kemuliaan agamanya?
Bercermin pada Haji Wada’
Hari itu, Hari Tarwiyah 10 H. Saat itu Rasulullah saw. pergi ke Mina dan melaksanakan shalat zuhur, ashar, magrib, isya dan subuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang telah disiapkan bagi Beliau.
Setelah matahari tergelincir, Rasulullah saw. meminta agar al-Qashwa’, unta Beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 124.000 atau 144.000 kaum Muslim. Beliau kemudian berdiri di hadapan mereka seraya menyampaikan khutbah haji terakhir Beliau yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada.’ Beliau antara lain bertutur:
Wahai manusia…
Sesungguhnya darah dan harta kalian terpelihara/haram atas diri kalian hingga kalian menjumpai Tuhan kalian, sebagaimana haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kalian pasti akan menjumpai Tuhan kalian dan kalian akan ditanya tentang amal-amal kalian…
Sesungguhnya riba Jahiliah dihapuskan seluruhnya. Kalian hanya menerima pokok harta kalian; kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi…
Semua persoalan yang terjadi pada zaman Jahiliah yang selama itu masih di bawah telapak kakiku, mulai hari ini dihapuskan…
Sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang menjadikan kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya…
Wahai manusia…
Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu. Sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa…(HR al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan sebuah kisah yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam dalam As-Sîrah an-Nabawiyyah).
Dari khutbah Nabi saw. di atas, ada beberapa pelajaran penting bagi umat Islam: Pertama, umat Islam adalah umat yang mulia, yang tegak dan terikat oleh iman. Inilah ikatan ideologi yang paling kokoh dan menjadikan umat Islam istimewa dan berbeda dengan umat lain. Yang membedakan umat Islam dengan umat lainnya adalah ketakwaan mereka sebagai pembuktian atas keimanan mereka kepada Allah SWT.
Kedua, umat ini sejak awal berdirinya di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. telah membuang sistem yang melahirkan derita dalam kehidupan ekonomi mereka: sistem ribawi! Sistem ekonomi ribawi ini penuh dengan kezaliman dan manipulasi. Karena itu, Islam telah mengubur sistem ekonomi ribawi ini sejak awal berdirinya masyarakat Islam di Madinah.
Ketiga, Rasulullah saw. dengan jelas menggambarkan telah tumbangnya sistem Jahiliah yang rendah dan sangat tidak berharga dengan bahasa majaz Beliau (perkara yang ada di bawah telapak kaki). Ini adalah gambaran tentang tegaknya kepemimpinan Islam atas semua yang berbau Jahiliah. Pemimpinanya adalah Rasulullah saw. Sistem dan hukum-hukum yang tegak di dalam masyarakatnya adalah sistem dan hukum Islam.
Keempat, keistiqamahan dalam memegang teguh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah adalah pangkal keselamatan dunia dan akhirat sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam QS Thaha [20]: 123-124:
“Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha [20]: 123-124)
Bagaimana Umat Islam Hari Ini?
Setiap tahun di bulan Dzulhijah lautan manusia berkumpul di Padang Arafah. Mereka datang dari berbagai negeri yang tercerai-berai dengan pemimpin mereka masing-masing. Mereka sudah lama tidak berada dalam satu kepemimpinan yang utuh sebagaimana kaum Muslim dulu saat masih berada dalam kepemimpinan Rasulullah saw. dan para khalifah setelah Beliau. Mereka tidak lagi berada dalam satu kesatuan jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-Muslimîn) secara hakiki sebagaimana dulu kaum Muslim saat berada dalam naungan Daulah Islam masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam setelahnya. Mereka dicengkeram ‘ashabiyah sempit. Mereka berkubang dalam sistem Jahiliah modern: nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state).
Aneh memang, umat Islam saat ini bisa bersatu dalam satu ibadah mahdhah, yakni ibadah haji. Mereka mengarah ke kiblat yang satu dan berada di tempat ibadah yang sama. Namun, mereka begitu saja abai terhadap kewajiban mereka untuk berada dalam kepemimpinan yang juga satu.
Mereka juga tenggelam dalam kubangan sekularisme di negeri mereka. Mereka senantiasa memisahkan urusan ibadah ritual dengan aspek kehidupan lainnya. Mereka menganggap seolah-olah kewajiban untuk tunduk dan patuh pada perintah Rabbul ‘Izzati hanya dalam ranah ibadah ritual seperti shalat, haji, berkurban dan semisalnya. Sebaliknya, di luar itu—seperti kewajiban mereka untuk berada dalam satu kepemimpinan Islam (Khilafah) dan keharusan mereka untuk membuang sikap ‘ashabiyah yang sempit—seolah tidak pernah diwajibkan oleh Allah dan tidak pernah tertuang dalam lembaran wahyu (al-Quran dan as-Sunnah).
Saat ini dunia, termasuk Dunia Islam, sedang dilanda krisis keuangan global yang cukup parah. Pangkal utamanya tidak lain adalah ekonomi ribawi yang menjadi pilar sistem ekonomi kapitalis saat ini, yang sayangnya justru diterapkan pula di negeri-negeri Muslim. Padahal bukankah sistem ribawi, sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. khutbahkan saat Haji Wada’, sudah Beliau campakkan sejak empat belas abad lalu? Lalu mengapa umat Islam mengadopsinya kembali dan seperti belum mau melepaskannya? Padahal sistem ekonomi berbasis riba inilah yang selama ini telah berkali-kali menggelincirkan umat ke dalam jurang penderitaan dan kemiskinan.
Sungguh bertolak belakang ibadah haji saat ini dengan ibadah haji pada masa Rasulullah saw. Dulu Rasulullah saw. dan kaum Muslim menunaikan ibadah haji dalam naungan sistem Islam, dalam Daulah Islam, dan dalam satu kepemimpinan Islam. Saat itu sistem Jahiliah terkubur secara keseluruhan. Sebaliknya, selama puluhan tahun sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam hingga saat ini, kaum Muslim menunaikan ibadah haji dalam kubangan sistem Jahiliah modern, yakni sistem sekular, dan berada di bawah kepemimpinan yang terkotak-kotak, dengan nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state)-nya masing-masing.
Hari ini ideologi Islam tidak tegak di tengah-tengah umat Islam sebagaimana pada masa Rasulullah saw. Hari ini tidak ada satu pun negara yang menerapkan sekaligus mengemban Islam sebagai ideologi sebagaimana pada masa Nabi saw. Sistem Jahiliah yang berada di telapak kaki Rasulullah saw. dan sudah dihapus oleh Beliau sejak pertama kali Beliau membangun Daulah Islam di Madinah justru sekarang hadir kembali, bahkan mencengkeram umat Islam.
Islam Membutuhkan Pengorbanan Kita
Terkait dengan pengorbanan, al-Quran telah mengabadikan kisah dahsyat Nabiyullah Ibrahim as. Beliau adalah manusia yang menyadari hakikat dirinya sebagai seorang hamba berikut kewajiban-kewajibannya sekaligus menyadari siapa Tuhannya berikut hak-hak-Nya. Kecintaan Ibrahim as. kepada Tuhannya sampai pada tingkatan mutlak. Baginya, Allah SWT adalah segalanya. Karena itulah, demi kecintaan atas Tuhannya, Ibrahim as. tidak pernah merasa berat hati meski Allah SWT memintanya untuk mengorbankan putranya, Ismail as., yang puluhan tahun ia nantikan kehadirannya. Demikianlah, Ibrahim as. dengan ringan tanpa beban ‘menyembelih’ ego dan keakuannya, serta dengan tulus-ikhlas mengorbankan rasa cinta kepada putranya demi mendahulukan cinta kepada Tuhannya. Demikian besar cintanya kepada Allah hingga melebihi kecintaan kepada selain-Nya, pantaslah jika Ibrahim as. digelari sebagai khalîlullâh (kekasih Allah).
Sikap dan pengorbanan Ibrahim as. ini diteladani secara sempurna, bahkan dengan kadar yang istimewa, oleh Baginda Rasulullah saw. Bukan hanya waktu, tenaga, harta dan keluarga yang Rasulullah saw. korbankan. Nyawa pun Beliau pertaruhkan demi tegaknya Islam dan kemuliaan kaum Muslim (’izzatul Islâm wal Muslimîn). Sikap dan pengorbanan Rasulullah saw. ini kemudian diikuti oleh para Sahabat Beliau dan generasi setelah mereka pada masa-masa Kekhilafahan setelahnya ketika mereka mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia.
Inilah esensi ibadah haji dan ibadah kurban pada bulan Dzulhijjah ini. Kita diajari nilai ketundukan dan kepatuhan total sebagai wujud keimanan dan kecintaan kita kepada Allah SWT. Kita pun diajari keharusan untuk mengorbankan segala yang ada pada diri kita, yang sesungguhnya bukan milik kita, tetapi milik sang Pemilik sejati, Allah SWT. Tentu apa yang kita korbankan layak mendapatkan balasan dari Allah SWT:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka dengan surga untuk mereka (QS at-Taubah [9]: 111).
Wahai kaum Muslim…
Sesungguhnya umat ini akan hidup mulia dan meraih kemuliaan hanya dengan Islam. Menegakkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara adalah kewajiban hamba yang beriman. Ini suatu keniscayaan dan tentu membutuhkan pengorbanan. Meruntuhkan dan mengubur sistem selain Islam adalah tantangan sekaligus kewajiban kita. Saatnya umat Islam hidup merdeka; menghamba hanya kepada Tuhan yang mencipta hamba, bukan kepada sesama hamba. Saatnya umat meninggalkan derita di bawah ‘ideologi setan’ (Kapitalisme maupun Sosialisme). Saatnya umat menegakkan kembali kepemimpinan Islam di bawah naungan Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. []
Pengorbanan waktu, tenaga, harta dan pikiran mereka persembahkan hanya kepada Allah SWT. Mereka senantiasa berharap, perniagaan mereka dengan Sang Rabbul ‘Izzati diterima dan dibeli dengan ridha dan surga-Nya.
Di tengah rasa bahagia menyaksikan perhelatan tersebut, ada rasa galau. Apakah ibadah haji hari ini sama kondisinya dengan ibadah pada masa Rasulullah saw.? Apakah umat Islam sekarang bisa menangkap esensi ibadah haji ini? Bagaimana pula pengorbanan umat Islam saat ini—sebagai salah satu pesan dari ibadah kurban—untuk kemuliaan agamanya?
Bercermin pada Haji Wada’
Hari itu, Hari Tarwiyah 10 H. Saat itu Rasulullah saw. pergi ke Mina dan melaksanakan shalat zuhur, ashar, magrib, isya dan subuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang telah disiapkan bagi Beliau.
Setelah matahari tergelincir, Rasulullah saw. meminta agar al-Qashwa’, unta Beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 124.000 atau 144.000 kaum Muslim. Beliau kemudian berdiri di hadapan mereka seraya menyampaikan khutbah haji terakhir Beliau yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada.’ Beliau antara lain bertutur:
Wahai manusia…
Sesungguhnya darah dan harta kalian terpelihara/haram atas diri kalian hingga kalian menjumpai Tuhan kalian, sebagaimana haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kalian pasti akan menjumpai Tuhan kalian dan kalian akan ditanya tentang amal-amal kalian…
Sesungguhnya riba Jahiliah dihapuskan seluruhnya. Kalian hanya menerima pokok harta kalian; kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi…
Semua persoalan yang terjadi pada zaman Jahiliah yang selama itu masih di bawah telapak kakiku, mulai hari ini dihapuskan…
Sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang menjadikan kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya…
Wahai manusia…
Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu. Sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa…(HR al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan sebuah kisah yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam dalam As-Sîrah an-Nabawiyyah).
Dari khutbah Nabi saw. di atas, ada beberapa pelajaran penting bagi umat Islam: Pertama, umat Islam adalah umat yang mulia, yang tegak dan terikat oleh iman. Inilah ikatan ideologi yang paling kokoh dan menjadikan umat Islam istimewa dan berbeda dengan umat lain. Yang membedakan umat Islam dengan umat lainnya adalah ketakwaan mereka sebagai pembuktian atas keimanan mereka kepada Allah SWT.
Kedua, umat ini sejak awal berdirinya di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. telah membuang sistem yang melahirkan derita dalam kehidupan ekonomi mereka: sistem ribawi! Sistem ekonomi ribawi ini penuh dengan kezaliman dan manipulasi. Karena itu, Islam telah mengubur sistem ekonomi ribawi ini sejak awal berdirinya masyarakat Islam di Madinah.
Ketiga, Rasulullah saw. dengan jelas menggambarkan telah tumbangnya sistem Jahiliah yang rendah dan sangat tidak berharga dengan bahasa majaz Beliau (perkara yang ada di bawah telapak kaki). Ini adalah gambaran tentang tegaknya kepemimpinan Islam atas semua yang berbau Jahiliah. Pemimpinanya adalah Rasulullah saw. Sistem dan hukum-hukum yang tegak di dalam masyarakatnya adalah sistem dan hukum Islam.
Keempat, keistiqamahan dalam memegang teguh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah adalah pangkal keselamatan dunia dan akhirat sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam QS Thaha [20]: 123-124:
“Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha [20]: 123-124)
Bagaimana Umat Islam Hari Ini?
Setiap tahun di bulan Dzulhijah lautan manusia berkumpul di Padang Arafah. Mereka datang dari berbagai negeri yang tercerai-berai dengan pemimpin mereka masing-masing. Mereka sudah lama tidak berada dalam satu kepemimpinan yang utuh sebagaimana kaum Muslim dulu saat masih berada dalam kepemimpinan Rasulullah saw. dan para khalifah setelah Beliau. Mereka tidak lagi berada dalam satu kesatuan jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-Muslimîn) secara hakiki sebagaimana dulu kaum Muslim saat berada dalam naungan Daulah Islam masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam setelahnya. Mereka dicengkeram ‘ashabiyah sempit. Mereka berkubang dalam sistem Jahiliah modern: nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state).
Aneh memang, umat Islam saat ini bisa bersatu dalam satu ibadah mahdhah, yakni ibadah haji. Mereka mengarah ke kiblat yang satu dan berada di tempat ibadah yang sama. Namun, mereka begitu saja abai terhadap kewajiban mereka untuk berada dalam kepemimpinan yang juga satu.
Mereka juga tenggelam dalam kubangan sekularisme di negeri mereka. Mereka senantiasa memisahkan urusan ibadah ritual dengan aspek kehidupan lainnya. Mereka menganggap seolah-olah kewajiban untuk tunduk dan patuh pada perintah Rabbul ‘Izzati hanya dalam ranah ibadah ritual seperti shalat, haji, berkurban dan semisalnya. Sebaliknya, di luar itu—seperti kewajiban mereka untuk berada dalam satu kepemimpinan Islam (Khilafah) dan keharusan mereka untuk membuang sikap ‘ashabiyah yang sempit—seolah tidak pernah diwajibkan oleh Allah dan tidak pernah tertuang dalam lembaran wahyu (al-Quran dan as-Sunnah).
Saat ini dunia, termasuk Dunia Islam, sedang dilanda krisis keuangan global yang cukup parah. Pangkal utamanya tidak lain adalah ekonomi ribawi yang menjadi pilar sistem ekonomi kapitalis saat ini, yang sayangnya justru diterapkan pula di negeri-negeri Muslim. Padahal bukankah sistem ribawi, sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. khutbahkan saat Haji Wada’, sudah Beliau campakkan sejak empat belas abad lalu? Lalu mengapa umat Islam mengadopsinya kembali dan seperti belum mau melepaskannya? Padahal sistem ekonomi berbasis riba inilah yang selama ini telah berkali-kali menggelincirkan umat ke dalam jurang penderitaan dan kemiskinan.
Sungguh bertolak belakang ibadah haji saat ini dengan ibadah haji pada masa Rasulullah saw. Dulu Rasulullah saw. dan kaum Muslim menunaikan ibadah haji dalam naungan sistem Islam, dalam Daulah Islam, dan dalam satu kepemimpinan Islam. Saat itu sistem Jahiliah terkubur secara keseluruhan. Sebaliknya, selama puluhan tahun sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam hingga saat ini, kaum Muslim menunaikan ibadah haji dalam kubangan sistem Jahiliah modern, yakni sistem sekular, dan berada di bawah kepemimpinan yang terkotak-kotak, dengan nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state)-nya masing-masing.
Hari ini ideologi Islam tidak tegak di tengah-tengah umat Islam sebagaimana pada masa Rasulullah saw. Hari ini tidak ada satu pun negara yang menerapkan sekaligus mengemban Islam sebagai ideologi sebagaimana pada masa Nabi saw. Sistem Jahiliah yang berada di telapak kaki Rasulullah saw. dan sudah dihapus oleh Beliau sejak pertama kali Beliau membangun Daulah Islam di Madinah justru sekarang hadir kembali, bahkan mencengkeram umat Islam.
Islam Membutuhkan Pengorbanan Kita
Terkait dengan pengorbanan, al-Quran telah mengabadikan kisah dahsyat Nabiyullah Ibrahim as. Beliau adalah manusia yang menyadari hakikat dirinya sebagai seorang hamba berikut kewajiban-kewajibannya sekaligus menyadari siapa Tuhannya berikut hak-hak-Nya. Kecintaan Ibrahim as. kepada Tuhannya sampai pada tingkatan mutlak. Baginya, Allah SWT adalah segalanya. Karena itulah, demi kecintaan atas Tuhannya, Ibrahim as. tidak pernah merasa berat hati meski Allah SWT memintanya untuk mengorbankan putranya, Ismail as., yang puluhan tahun ia nantikan kehadirannya. Demikianlah, Ibrahim as. dengan ringan tanpa beban ‘menyembelih’ ego dan keakuannya, serta dengan tulus-ikhlas mengorbankan rasa cinta kepada putranya demi mendahulukan cinta kepada Tuhannya. Demikian besar cintanya kepada Allah hingga melebihi kecintaan kepada selain-Nya, pantaslah jika Ibrahim as. digelari sebagai khalîlullâh (kekasih Allah).
Sikap dan pengorbanan Ibrahim as. ini diteladani secara sempurna, bahkan dengan kadar yang istimewa, oleh Baginda Rasulullah saw. Bukan hanya waktu, tenaga, harta dan keluarga yang Rasulullah saw. korbankan. Nyawa pun Beliau pertaruhkan demi tegaknya Islam dan kemuliaan kaum Muslim (’izzatul Islâm wal Muslimîn). Sikap dan pengorbanan Rasulullah saw. ini kemudian diikuti oleh para Sahabat Beliau dan generasi setelah mereka pada masa-masa Kekhilafahan setelahnya ketika mereka mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia.
Inilah esensi ibadah haji dan ibadah kurban pada bulan Dzulhijjah ini. Kita diajari nilai ketundukan dan kepatuhan total sebagai wujud keimanan dan kecintaan kita kepada Allah SWT. Kita pun diajari keharusan untuk mengorbankan segala yang ada pada diri kita, yang sesungguhnya bukan milik kita, tetapi milik sang Pemilik sejati, Allah SWT. Tentu apa yang kita korbankan layak mendapatkan balasan dari Allah SWT:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka dengan surga untuk mereka (QS at-Taubah [9]: 111).
Wahai kaum Muslim…
Sesungguhnya umat ini akan hidup mulia dan meraih kemuliaan hanya dengan Islam. Menegakkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara adalah kewajiban hamba yang beriman. Ini suatu keniscayaan dan tentu membutuhkan pengorbanan. Meruntuhkan dan mengubur sistem selain Islam adalah tantangan sekaligus kewajiban kita. Saatnya umat Islam hidup merdeka; menghamba hanya kepada Tuhan yang mencipta hamba, bukan kepada sesama hamba. Saatnya umat meninggalkan derita di bawah ‘ideologi setan’ (Kapitalisme maupun Sosialisme). Saatnya umat menegakkan kembali kepemimpinan Islam di bawah naungan Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. []
Langganan:
Postingan (Atom)