Cengkraman Amerika di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, bisa dikatakan sejak zaman Presiden RI pertama hingga sekarang, Indonesia belum bisa melepaskan diri dari cengkraman penjajahan AS, baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, keamanan maupun yang lain. Ketika isu terorisme belum reda, publik Indonesia dikejutkan dengan kerjasama KPK dan FBI (Federal Bureau of Investigation) dalam proyek yang disebut Pemberantasan Korupsi. Kerjasama itu dilakukan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Ketua KPK, Antasari Azhar dan Deputi Direktur FBI, John Pistole di Gedung KPK di Jakarta, Selasa 18 Nopember lalu.
Kedua lembaga ini sepakat untuk menjalin kerjasama dalam hal pertukaran informasi, pelaksanaan program pemberantasan korupsi, pelatihan dan kursus, pertukaran ahli bidang intelijen dan investigasi, serta bimbingan teknis. Menurut ketua KPK, Antasari Azhar, inti dari kerjasama dengan FBI adalah pengembangan kualitas dan kompetensi sumberdaya manusia KPK. Kerjasama ini juga merupakan proses pembelajaran bagi KPK tentang sistem kerja dan organisasi FBI. Menurutnya, “FBI menjadi model pengembangan bagi KPK”.
Sebelum MoU kerjasama KPK dengan FBI ini, Kejaksaan Agung RI juga telah menjalin kerjasama dengan Kejaksaan Agung AS untuk membantu dalam pembentukan satuan tugas tingkat tinggi pemberantasan korupsi di Indonesia. MoU tersebut ditandatangani oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji dengan Michael Mukasey, Senin 5 Nopember lalu. Untuk itu AS menyediakan bantuan lebih dari US $ 750.000 dalam rangka membantu Kantor Kejaksaan Agung RI dalam membentuk satgas pemberantasan korupsi (www.thejakartapost.com).
Cengkraman AS Makin Dalam
Negeri ini sebenarnya telah banyak menjalin kerjasama dengan pihak asing. Berbagai kerjasama itu—khususnya dalam bidang politik, hukum dan keamanan—sebenarnya telah banyak memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sebagian besar dari perjanjian itu, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, lebih menguntungkan pihak asing. Selalu ada imbalan yang pasti menguntungkan pihak asing. Pepatah mengatakan, “Is no free lunch,” alias “Tidak ada makan siang yang gratis”. Tengok saja perjanjian keamanan dengan Singapura (DCA), berbagai kerjasama militer dengan AS, kerjasama kontra-terorisme dan sebagainya.
Kerjasama dengan FBI sendiri telah beberapa kali dilakukan oleh lembaga pemerintahan di negeri ini. Sebagai contoh kerjasama dengan FBI dalam penanganan kasus terorisme, sebagaimana dalam kasus Bom Bali, JW Mariot dan sebagainya. Namun nyatanya, master mind (pelaku utama) Bom Bali dan berbagai misteri yang menyelimutinya sampai saat tidak terungkap. Contoh lain: kerjasama dengan FBI dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Kerjasama ini juga tidak memperlihatkan hasil yang diharapkan.
Sebenarnya FBI tidak sehebat yang dibayangkan banyak pihak. Hanya saja, karena faktor propaganda seolah-olah FBI itu hebat. Padahal di Amerika sendiri, selama puluhan tahun hingga hari ini FBI tidak berhasil mengungkap kasus pembunuhan Presiden AS John F Kennedy. Yang lebih fatal, peledakkan gedung WTC 9/11 juga di luar hendusan FBI hingga penyelidikannya pun dihentikan.
Ada yang mengatakan, bahwa kerjasama KPK dengan FBI adalah murni bantuan teknis dari FBI kepada KPK. Pertanyaannya, lalu apa untungnya bagi FBI dengan kerjasama seperti itu? Pertanyaan ini wajar karena pihak asing, khususnya AS, tentu tidak akan melakukan kerjasama atau memberikan bantuan kecuali mendapatkan keuntungan atau imbalan. Ini wajar saja, sebab dalam logika negara Kapitalis penjajah, prinsip utama dalam bekerjasama adalah manfaat. Keuntunganlah yang menjadi penentu kerjasama tersebut dilakukan. Jika tidak ada untungnya, maka tidak akan mungkin mereka mengadakan kerjasama. Pertanyaannya, lalu apa yang didapatkan FBI?
Kerjasama itu diharapkan banyak membantu dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, termasuk mengembalikan aset yang dilarikan oleh koruptor ke luar negeri, khususnya ke AS. Menurut Deputi Direktur FBI, John Pistole, FBI memiliki ratusan agen dan analis di bidang korupsi. Karena itu, jika ternyata ada aset hasil korupsi warga Indonesia yang dibawa ke AS, FBI siap membantu upaya pelacakan sekaligus pembekuan aset tersebut. Jika ada koruptor dari Indonesia yang melarikan diri ke AS, FBI juga siap memberikan bantuan dalam hal pencarian.
Tetapi perlu dicatat, bahwa kemungkinan itu sangat sulit diwujudkan, jika Indonesia dengan AS tidak memiliki kerjasama dalam ekstradisi. Karena pemulangan koruptor yang diketahui berada di AS akan menemui kendala. Karena itu, ini lebih tepat merupakan harapan kosong. Sebab, dengan negara tetangga Singapura saja, meski ada kerjasama ekstradisi RI-Singapura, ternyata pemulangan para koruptor dari negeri itu ke Tanah Air belum pernah bisa diwujudkan.
Yang pasti, justru dengan kerjasama KPK-FBI ini, ditambah dengan kerjasama Kejaksaan RI dengan Kejaksaan AS, maka AS bisa dengan leluasa mengakses data seluruh pejabat dan aparatur negara. Dengan akses tersebut, AS mempunyai kartu As untuk membeli agen-agen mereka dari para pemegang apatur negara yang bekerja demi kepentingan mereka. Dengan data-data tersebut, AS bisa menggunakannya untuk mengangkat dan menyingkirkan siapapun aparat negara yang dikehendakinya. Jika ini terjadi, jangan heran jika para pejabat di negeri ini begitu takut dengan AS, bahkan jauh lebih takut daripada takut kepada Allah SWT. Maka tidak heran, jika pengkhianatan kepada Allah, Islam dan umatnya seringkali terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini. Mulai dari kasus Ahmadiyah, kartun Nabi hingga kasus-kasus pembantaian terhadap umat Islam.
Pendek kata, melalui kedok bantuan teknis, pelatihan SDM, pertukaran data dan informasi serta pelatihan intelijen, jelas AS bisa mencengkram negeri ini lebih dalam. Setidaknya, melalui FBI, AS memiliki kesempatan untuk menanamkan chips-chips di dalam tubuh lembaga penegak hukum negeri ini yang suatu saat bisa diaktifkan sesuai dengan kepentingannya. Selain itu, mencetak SDM yang memiliki cara pandang dan paradigma sebagaimana yang dimiliki AS juga merupakan kesalahan fatal dari pilihan kebijakan.
Haram Bekerjasama dengan Negara Kafir Penjajah
Lalu, bagaimana pandangan Islam dalam kasus seperti ini. Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ [
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang di luar kalangan kalian sebagai teman kepercayaan kalian (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadaratan atas kalian. Mereka menyukai apa saja yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa saja yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami) jika saja kalian memahaminya.” (QS Ali Imran [3]: 118).
Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, Tafsir Ibn Katsir, menjelaskan bahwa bithânah seseorang adalah orang dekat yang bisa mengetahui urusan dalam orang tersebut. At-Thabari, dalam tafsirnya, Tafsir at-Thabari, menjelaskan bahwa bithânah seseorang adalah orang yang bisa mengetahui rahasia-rahasianya dan mengetahui orang-orang jauh maupun kerabat-kerabat dekatnya. Imam Jalalain juga menjelaskan, bahwa bithânah adalah orang-orang yang dijadikan teman kepercayaan sehingga bisa mengetahui rahasianya.
Ayat ini dengan jelas dan tegas melarang kita untuk menjadikan orang-orang Kafir, apalagi Kafir penjajah sebagai orang dekat dan kepercayaan kita, sehingga bisa mengetahui urusan dalam dan rahasia-rahasia kita. Memberikan akses kepada AS, melalui FBI, untuk mengetahui data dan rahasia negara merupakan fakta yang dijelaskan oleh ayat ini. Sebab, kerjasama dengan FBI itu artinya menjadikan mereka sebagai orang dekat dan kepercayaan di negeri ini, sehingga memungkinkan mereka mengetahui urusan dalam dan rahasia negeri ini. Karena itu, hukumnya jelas haram.
Selain itu, Allah SWT juga berfirman:
]وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا[
”Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang Mukmin.” (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Ayat ini dengan tegas juga melarang, dengan larangan yang bersifat permanen (nafy at-ta’bid), sebagaimana yang ditunjukkan oleh lafadz: wa lan yaj’ala (sekali-kali tidak akan pernah). Larangan secara permanen memberikan jalan (peluang/kesempatan) kepada orang-orang Kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. Dengan kata lain, ayat ini mengharamkan kita memberikan peluang sekecil apapun yang memungkinkan kaum Kafir untuk menguasai kaum Mukmin dan menancapkan cengkeramannya di negeri-negeri kaum Muslim, termasuk di negeri ini. Dengan menjalin kerjasama dengan FBI, KPK telah membuka jalan (peluang/kesempatan) kepada AS untuk mencengkram negeri ini lebih dalam.
Lebih dari itu, AS adalah negara yang berstatus sebagai negara Kafir harbi, karena telah memaklumkan perang terbuka kepada umat Islam, baik dalam perang melawan terorisme, maupun pendudukannya di Irak, Afganistan dan operasi militernya di Pakistan. Dengan statusnya sebagai negara Kafir harbi, umat Islam di wilayah manapun, termasuk Indonesia, tidak boleh melakukan kerjasama apapun dengan AS.
Wahai Kaum Muslim:
Masalah korupsi itu akan tetap mengakar di dalam kehidupan masyarakat dan aparatur negara, selama Sekularisme dengan asas manfaat tetap menjadi akidah yang diterapkan untuk menjalakan negara dan kehidupan bermasyarakat di negeri ini. Sampai saat ini, AS sendiri tidak mampu menyelesaikan korupsi di negerinya sendiri, karena faktor yang sama. Sekitar 7 dari 10 rakyat AS mengatakan, bahwa pemilihan pejabat negara terlalu menghamburkan uang (47% mengatakan, bahwa mereka mengeluarkan ”uang terlalu besar”). Dengan budaya seperti itu, korupsi juga menjadi bagian dari budaya politik dan birokrasi di AS. Dengan budaya yang bobrok seperti itu, bagaimana mungkin mereka mengajarkan kebaikan kepada kita?
Sesungguhnya penanganan dan pemberantasan korupsi itu akan menjadi perkara yang mudah ketika Islam dan syariatnya digunakan untuk mengatur negeri yang mayoritas Muslim ini. Dengan ketakwaan kepada Allah, seseorang akan merasa takut dan terus-menerus diawasi oleh Allah. Dari sanalah, lahir budaya self control (kontrol dari dalam) dan waskat (pengawasan melekat). Selain itu, lingkungannya yang dipenuhi dengan orang-orang yang bertakwa dan amanah juga tidak memungkinkan berkembangnya budaya korupsi. Disamping penegakan hukum yang tidak tebang pilih atau pandang bulu oleh negara akan membuat siapapun tidak berani melakukan tindakan tercela itu.
Inilah tiga pilar tegaknya hukum Islam: (1) Ketakwaan pribadi, yang melahirkan self control; (2) Pengawasan masyarakat atas dasar ketakwaan, yang membentuk lingkungan kerja dan kinerja yang sehat dan amanah; (3) Penegakan hukum yang tidak tebang pilih dan pandang bulu, yang bisa menegakkan keadilan seadil-adilnya. Inilah tiga pilar yang menjadikan sistem Islam bisa bertahan berabad-abad, yang paling bersih dalam sejarah peradaban manusia manapun sepanjang sejarah.
Jika kita sudah muak dengan korupsi yang telah berurat-berakar di negeri ini, dan jika kita sudah rindu dengan kehidupan yang bebas korupsi, maka inilah saatnya kita menyingsingkan lengan baju dan bahu membahu menerapkan syariah Islam, tentu saja dalam naungan Khilafah Rasyidah. Wallâhu a’lam. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar