Selasa, 17 Maret 2009

Perjanjian Politik yang Dilakukan oleh Gerakan Islam dengan Pemerintah dan Partai Sekuler Bertentangan dengan Syara’ dan Membahayakan Kaum Muslim

Membuat perjanjian politik hanya boleh dilakukan oleh negara dan pemerintah saja. Dalam hal ini, tidak ada alasan apappun yang membolehkan gerakan melakukannya, meski untuk mewakili pemerintah atau membantunya. Sebab, peran gerakan, partai, dan kelompok politik wajib terbatas pada aktivitas mengoreksi (muhasabah), menyampaikan pemikiran, dan melakukan perjuangan politik, seperti mengelurkan memorandum tentang kesalahan arah politik yang diambil negara (pemerintah), mengungkap rencana-rencana busuk musuh, dan membantu kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat (tabanni mashalihul umah).
Dengan demikian, apapun keadaan dan kondisinya, aktivitas-aktivitas gerakan atau partai tidak boleh menyerupai aktivitas-aktivitas negara atau pemerintah. Sebab, gerakan atau partai tidak memiliki kekuasaan, tidak memerintah masyarakat, serta tidak pula mengurusi urusan-urusan politik masyarakat yang sesungguhnya.
Mengatur urusan-urusan pemerintahan dari aspek realitas adalah di antara tugas negara dan penguasa, bukan tugan partai atau kelompok, meskipun penguasanya berasal dari partai atau kelompok tersebut.
Pada dasarnya, pemahaman tentang “partai penguasa” merupakan pemahaman yang salah, bahkan berakibat pada adanya ekses-ekses politik yang berbahaya. Sebab hal itu mengubah fungsi negara hanya sebagai alat kekuasaan partai. Sehingga negara hanya menjadi milik partai yang berkuasa saja, dan tidak lagi menjadi milik semua masyarakat (rakyat). Akibatnya, terjadi tumpang-tindih kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya, kebijakan partai dianggap sebagai kebijakan negara, sebaliknya kebijakan negara dinilai sebagai kebijakan partai. Jika hal ini terjadi, maka akan melahirkan kebencian dan dendam di tengah-tengah masyarakat terhadap partai dan negara, karena adanya monopoli partai atas pemerintahan, dan tidak diberinya hak masyarakat (rakyat) dalam kekuasaan.
Bangsa Arab dan umat Islam telah lama menjalani dualisme politik ini, dan hingga sekarangpun masih dijalankannya. Padahal semua itu yang menyebabkan terjadinya bahaya, berupa kemunduran politik yang luar biasa, seperti yang terlihat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi, hal inilah yang menjadikan penting sekali memisahkan antara partai yang manapun dengan negara.
Adapun terkait dengan partai atau kelompok Islam secara khusus, maka perjanjian-perjanjian yang dibuatnya bersama pemerintah dan partai sekuler akan berakibat buruk berupa ketundukan partai atau kelompok tersebut terhadap pemerintah atau partai sekuler yang dengannya perjanjian dibuat. Bahkan hal itu akan menjauhkannya dari ciri khasnya dalam mengadopsi ideologi Islam dan hukum-hukumnya. Dan itu pula yang menjadikannya tergelincir kedalam rawa-rawa politik yang sebelumnya pemerintah dan partai sekuler telah tersesat dalam kegelapannya.
Masalah dalam hal ini pasti dan nyata, sedang perbandingannya jelas dan terang, yaitu apakah pemerintah berhukum dengan Islam atau berhukum dengan selain Islam, dan tidak ada alternatif ketiganya. Apabila telah pasti bahwa pemerintah ini berhukum dengan selain Islam, maka tidak ada gunanya dan tidak ada nilainya membuat kontrak (perjanjian) politik dengannya. Sebab dapat dipastikan bahwa perjanjian yang dibuatnya tidak akan membuat pemerintah menerapkan Islam. Justru sebaliknya, perjanjian yang dibuat oleh partai atau kelompok tersebut benar-benar telah memberikan legalitas terhadap pemerintah sekuler, dan membuatnya mudah untuk terus memerintah masyarakan dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
Contoh dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh gerakan Hamas dan Jihad Islam yang membuat kesepakatan nasional dengan otoritas Palestina dan gerakan Fatah, yang kemudian disusul dengan perjanjian Makkah, San’a, Kaero, dan apa yang telah berlangsung, yaitu perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Komite Perdamaian di Kaero antara gerakan-gerakan Islam dengan gerakan-gerakan nasionalis. Sebab, penjanjian-perjanjian ini akan menarik kaki gerakan-gerakan Islam untuk sampai pada sikap kompromi terhadap otoritas Palestina dan gerakan-gerakan sekuler. Dari sinilah mereka masuk kedalam perangkap politik kedaerahan Mesir, Suriah, Iran, dan Saudi Arabia, yang tidak lain semuanya adalah politik yang tunduk dan mengabdi kepada kepentingan tentara Amerika.
Dan seperti itu juga, adalah perjanjian saling memuliakan dan loyal yang diadakan antara gerakan-gerakan Islam dengan gerakan-gerakan di Yordania, Maroko, Mauritania, dan yang lainnya.
Termasuk juga, perjanjian-perjanjian dengan negara non Islam, seperti perjanjian yang dibuat oleh kelompok Islam di Pakistan dengan partai Komunis Cina—bulan ini—yang isinya adalah pengakuan hak Cina di wilayan Turkistan Timur. Padahal semua tahu bahwa wilayah itu secara legal (syar’iy) adalah wilayah milik umat Islam yang dirampas oleh Cina.
Demikian itulah bahaya mengadakan perjanjian antara gerakan-gerakan Islam dengan pemerintah dan partai-partai sekuler. Sebab, hal itu berarti memberikan legalitas kepada pemerintah dan partai-partai tersebut dalam menerapkan hukum-hukum thaghut (bukan hukum Islam) terhadap masyarakat. Sebagaimana hal itu juga merupakan bentuk pengakuan terhadap hak-hak musuh di negeri-negeri Islam. Semua itu, secara syar’iy haram dilakukan, serta mendatangkan bahaya yang besar bagi kehidupan dan masa depan kaum Muslim.

Tidak ada komentar:

.:: Abi, Umik, Akbar, Mas Aziz & Mas Rizki ::.

.:: Abi, Umik, Akbar, Mas Aziz & Mas Rizki ::.